TEMPO.CO, Semarang – Langkah Universitas Diponegoro, Semarang, melarang pelaksanaan diskusi tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang diadakan oleh Pers Mahasiswa (LPM) Gema Keadilan Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, terus menuai protes. Menurut Sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Semarang Ahmad Fahmi Ashshidiq, larangan mengadakan diskusi tentang LGBT oleh Rektorat Kampus Universitas Diponegoro merupakan bentuk dari pemberangusan kebebasan mimbar akademik. "Padahal tujuan dari diskusi untuk memberi perspektif baru dan solusi terkait LGBT yang muncul di lingkungan masyarakat," ungkap Ahmad Fahmi, Selasa, 17 November 2015.
Karena itu, PPMI Dewan Kota Semarang meminta Pimpinan Fakultas Hukum dan Universitas Diponegoro meminta maaf secara resmi kepada seluruh mahasiswa. "Undip harus minta maaf atas pembungkaman kebebasan mimbar akademik," katanya.
Menurut Ahmad Fahmi, pimpinan fakultas serta rektorat Universitas Diponegoro semestinya menghormati dan menjalankan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan perguruan tinggi. Hal ini sesuai pasal 8 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Karena itu, PPMI Dewan Kota Semarang menyatakan prihatin terhadap langkah Undip yang masih menutup kebebasan mimbar akademik.
Sebelumnya, acara diskusi "Ngobrol Pintar" bertema "Melihat LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia" yang diadakan oleh LPM Gema Keadilan batal digelar pada Kamis, 12 November 2015 lalu. Pasalnya, pihak kampus melarang panitia untuk mengadakan acara tersebut. Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Undip, Solechan, menghubungi pengurus LPM Gema Keadilan meminta supaya diskusi itu dibatalkan karena dianggap bisa mengganggu langkah Undip yang sedang dalam proses menuju Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH). Tidak hanya itu. Tidak lama kemudian, sejumlah polisi berpakaian preman mendatangi lokasi diskusi dan meminta supaya diskusi dibubarkan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Benny Riyanto justru menuding mahasiswa yang melakukan kesalahan. "Mereka mau melakukan diskusi tapi tidak sesuai SOP (Standard Operating Procedure)," kata Benny. Seharusnya, kata Benny, jika mahasiswa ingin diskusi, mereka harus mengajukan izin terlebih dahulu. "Kan kami ingin good governance."
Namun, menurut Ahmad, alasan itu kurang berdasar. Sebab, diskusi "Ngobrol Pintar" adalah acara rutin LPM Gema Keadilan, dan diskusi itu selalu atas sepengetahuan pihak kampus. LPM Gema Keadilan juga sudah lima kali menggelar diskusi "Ngobrol Pintar" dengan tema yang berbeda, dan selama itu tidak dipermasalahkan. Diskusi tentang LGBT juga menggunakan prosedur yang sama dengan diskusi-diskusi sebelumnya, namun kali ini dilarang.
ROFIUDDIN