TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Desmond Juniadi Mahesa meminta pemerintah bertanggung jawab dan meminta maaf atas peristiwa 1965. Menurut dia, berdasarkan putusan Pengadilan Rakyat Internasional atas Peristiwa 1965 di Den Haag, Belanda, pemerintah Indonesia dianggap bersalah atas peristiwa tersebut.
"Itu bukti negara tidak mampu melindungi warga negara, padahal pemerintah menjamin keamanan dan kemerdekaan warganya,” kata Desmond di Kompleks Parlemen Senayan, Senin, 16 November 2015.
Menurut Desmond, putusan sidang rakyat 1965 tersebut merupakan sejarah yang menampar pemerintah Indonesia dan menjadi perhatian internasional. Apalagi, kata dia, dalam persidangan terungkap beberapa fakta yang selama ini tidak diketahui publik.
Seperti kesaksian Tintin Rahayu yang mengaku diculik dan disiksa karena dituding anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Tintin membantah jika dia bergabung dengan organisasi sayap perempuan Partai Komunis Indonesia tersebut. "Saya bukan Gerwani, Pak. Saya IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia)," katanya. Titin mengaku, salah seorang yang menyiksanya saat itu adalah Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Loekman Soetrisno.
Atas kejadian tersebut, Desmond mendesak agar pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap korban dan keluarga peristiwa 1965. "Tidak peduli putusan tidak punya kekuatan hukum. Tapi di mata internasional, Indonesia sudah dicap pelanggar HAM," katanya.
Jumat malam lalu atau Sabtu dinihari waktu Indonesia, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional Zak Yacoob membacakan putusan atas sembilan dakwaan terhadap pemerintah Indonesia berkaitan dengan peristiwa 1965 yang diajukan ketua tim jaksa penuntut Todung Mulya Lubis. Majelis menilai Indonesia dan seluruh negara yang mengetahui pembunuhan dan penyiksaan dalam peristiwa 1965-1966 harus bertanggung jawab.
Todung mengatakan putusan yang diketok di Nieuwe Kerk--gedung bekas gereja di pusat kota Den Haag--tersebut membuka peluang bagi para korban dan keluarga korban Peristiwa 1965 untuk mendapatkan keadilan dan menguak kebenaran. "Ini momen bersejarah," kata dia. Todung bersama Yayasan International People's Tribunal (IPT) 1965 berencana membawa putusan tersebut ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pendiri Yayasan International People's Tribunal 1965 dan koordinator tim penelitian, Saskia Wierenga, mengatakan Indonesia harus bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan masa lalu. "Kami belum selesai. Kami baru memulainya," kata Saskia.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 Bedjo Untung juga mengatakan Presiden Joko Widodo harus melaksanakan putusan internasional dengan menyampaikan penyesalan negara terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Langkah tersebut menjadi awal sebelum pelaksanaan rehabilitasi dan rekonsiliasi dengan korban dan keluarga. "Jangan takut dengan jenderal-jenderal karena hasil IPT ini keputusan internasional," kata Bejo.
HUSSEIN ABRI YUSUF | PURWANI DIYAH PRABANDARI (DEN HAAG)