TEMPO.CO, Jakarta - Fauzan, 65 tahun, terduduk lesu di teras belakang rumahnya, Sabtu pagi, 14 November 2015. Seorang bocah perempuan cilik ‘nempel’ terus di dekatnya. "Ini cucu saya. Ibunya sedang kerja. Bapaknya jadi tukang becak di Surabaya," kata Fauzan.
Bapak tiga anak dan sepuluh cucu ini adalah penambang pasir tradisional di Kalimujur, di Dusun Darungan, Desa Gesang, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang. Tapi, sudah hampir dua bulan ini dia menganggur. Kematian Salim Kancil di Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, memicu larangan dan penertiban atas seluruh aktivitas penambangan pasir di Lumajang.
Fauzan mengaku sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi penambang pasir tradisional. Alat kerjanya hanya berupa sekop dan ayak, dan biasanya sudah cukup untuk menghasilkan Rp 70 ribu per hari. Ini karena ada saja pikup yang datang untuk membeli pasir yang dia kumpulkan itu setiap harinya.
"Satu bak pikup Rp 40 ribu," kata Fauzan. Setelah dipotong Rp 5 ribu untuk uang kas yang dibayarkan kepada pemilik babakan (areal penambangan), Fauzan membawa pulang sisanya Rp 35 ribu. Dia bisa ‘panen’ ketika musim hujan datang karena air hujan menggelontorkan pasir ke daerah-daerah aliran lahar dari lereng Gunung Semeru.
Fauzan tidak sendiri. Ada ribuan warga lainnya yang bergantung dari penghasilan sebagai penambang pasir tradisional. Mereka biasa menambang di 30 babakan di sepanjang Kalimujur mulai dari Desa Pasrujambe, Desa Kloposawit, Desa Gesang, Desa Pulo, Desa Madurejo, Desa Tempeh Tengah, Desa Lempeni, dan Desa Pandanarum.
Hendra adalah satu pemilik babakan di Kalimujur itu. "Banyak anggota yang bertanya sampai kapan dilarang," kata Hendra.
Larangan itu yang mendorong ratusan penambang berunjuk rasa di gedung DPRD Lumajang, kantor Perwakilan Perum Perhutani Lumajang, dan kantor Bupati Lumajang, Jumat, 13 November 2015. Hasilnya, pemerintah daerah menyerah dengan mengizinkan mereka yang berasal dari Desa Pasrujambe menambang lagi.
Tapi itu pun dengan syarat. Penambangan di Pasrujambe yang bersinggungan dengan kawasan Perhutani itu diperbolehkan ditambang hingga Senin, 16 November 2015, atau ketika Forum Pimpinan Daerah menemui Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Kepala Bagian Perekonomian Pemerintah Kabupaten Lumajang Ninis Rindhawati mengatakan pada dasarnya penambang yang melakukan kegiatannya harus memiliki izin. "Artinya, ada prosedur yang harus dipenuhi sebelum menambang," kata dia sembari menegaskan, "Penambangan rakyat tetap terbuka untuk diberikan izin. Namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi."
DAVID PRIYASIDHARTA