TEMPO.CO, Magelang - Di pinggang Gunung Sumbing, 1700 meter dari permukaan laut, tepatnya di Desa Kradengan, sebuah festival berlangsung hangat. Sedikitnya lima ratus orang, warga desa dan pengunjung yang terdiri dari mahasiswa, penulis, jurnalis, turis mancanegara, dan peneliti dari berbagai tempat datang meramaikan Kradengan yang sepanjang hari dipenuhi kabut. “Monggo, monggo pinarak — mari, mari, silakan singgah,” begitu penduduk menyambut para pengunjung festival.
Hajatan itu bernama Festival Penulis dan Budaya Borobudur, yang tahun ini adalah penyelenggaraan keempat kalinya. Tema festival tahun ini adalah “Gunung, Bencana, dan Mitos di Nusantara”. Arkeolog, antropolog, ahli sejarah, penulis, didatangkan untuk berdiskusi di forum-forum festival. Erupsi gunung berapi, mulai dari Toba, Tambora, Merapi, dalam sejarah memang berperan signifikan dalam menghapus jejak peradaban kuno. “Gunung adalah pusat peradaban di nusantara. Membicarakan gunung adalah membicarakan peradaban,” kata Seno Joko Suyono, wartawan Tempo yang juga salah satu penggagas festival ini. Lokasi festival ini pun dipiih bergiliran di antara lima gunung di kawasan Jawa Tengah, yakni Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, Menoreh, dan Sumbing.
Tidak seperti halnya festival lain yang dipenuhi kemudahan turistik seperti penginapan dan makanan yang serba lezat, festival ini justru mengutamakan hadirnya pengalaman riil membaur bersama penduduk lokal. Yang terjadi adalah hajatan komunitas, berbagai lapisan masyarakat berpesta bersama. “Kami ingin peserta festival turut menghirup udara gunung, merayakan kehidupan yang diberikan gunung,” kata Romo Mudji Sutrisno, salah satu pendiri Festival Borobudur.
Maka, pada Jumat siang, 13 November, sekitar 300 peserta berangkat dengan menumpang bus yang disediakan panitia, dari Borobudur menuju Kradengan. Tak semua rute bisa dijangkau bus, sehingga peserta harus menyambung perjalanan dengan berjalan kaki. Jalanan menanjak berliku, kendati cuma tak lebih dari 500 meter, cukup menyulitkan peserta. “Waduh, sampai ngos-ngosan saya,” kata Gatut Wicaksana, salah seorang peserta.
Keringat lelah seolah terbayar tuntas saat sampai di tujuan. Kopi dan teh panas menanti, begitu pula hidangan khas Kradengan yang disajikan ibu-ibu setempat. Pecel daun pepaya, pisang goreng, tempe bacem, terasa berkali lipat lezatnya dibanding makanan serupa di restoran di kota besar. “Jangan lupa mencicipi yang ini, Mbak. Tumis belut campur petai,” kata seorang ibu sambil menyodorkan piring hidangan.
Sore yang berkabut terasa meriah di Kradengan. Obrolan hangat antara para pengunjung dan warga desa memenuhi udara. Gamelan ditabuh. Sebagian warga desa bersiap untuk pertunjukan yang akan digelar malam harinya. Semua orang bersemangat menanti malam, sambil berharap hujan tak turun di Kradengan.
Malam hari tiba. Orang-orang berduyun datang memenuhi halaman balai desa. Sambil bersila di pelataran, berbalut jaket dan sarung, hadirin menikmati tarian “Jeger” dari Sanggar Sumberanom, Banyuwangi. Kemudian, wayang gunung hadir membawa pesan pentingnya menjaga gunung. “Jika gunung terbakar, maka terbakar pula kehidupanmu,” kata Dalang Sih Agung, yang membawakan pentas wayang kontemporer malam itu.
Malam semakin hangat saat para penyair, Eka Budianta, Joko Pinurbo, dan Gunawan Maryanto, membacakan puisi. Seolah tersihir, ratusan hadirin mendengarkan kata-kata puisi dengan hikmat. Puncaknya, malam yang hangat itu ditutup dengan penampilan musik Grup Brayat Endah Laras, dengan lagu-lagu yang menggugah patriotisme. “Mana mungkin aku bahagia, melihat rakyat masih miskin,” lantunan lagu Endah Laras, yang namanya kian meroket setelah dia pentas di pembukaan Frankfurt Book Fair.
Maka, berakhirlah malam di Kradengan, menjelang tengah malam peserta festival kembali ke area Borobudur dengan bus. “Mengharukan sekali menyaksikan para penyair, seniman, peneliti, mendatangi warga desa, membacakan puisi, bermusik, di pelosok yang jauh, di ketinggian 1700 meter,“ kata Yoke Darmawan, Direktur Festival Borobudur. “Ini memang festival yang berbeda.”
MARDIYAH CHAMIM (MAGELANG)