Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Ekspedisi Kudungga Meluncur di Festival Borobudur  

image-gnews
Sejumlah seniman Komunitas Lima Gunung menampilkan kolaborasi tari, olah tubuh, dan musik kontemporer berjudul 'White Noise' pada gelaran Borobudur Writers & Culture Festival (BWCF) 2015 di Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng, 13 November 2015. ANTARA/Anis Efizudin
Sejumlah seniman Komunitas Lima Gunung menampilkan kolaborasi tari, olah tubuh, dan musik kontemporer berjudul 'White Noise' pada gelaran Borobudur Writers & Culture Festival (BWCF) 2015 di Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng, 13 November 2015. ANTARA/Anis Efizudin
Iklan

TEMPO.CO, Jogjakarta - Tempo Institute meluncurkan buku “Ekspedisi Kudungga - Menelusuri Jejak Peradaban Kutai” edisi Konsultasi dalam acara Festival Penulis dan Budaya Borobudur, yang berlangsung 12-14 November ini di Yogyakarta dan Magelang. “Buku ini adalah upaya mendokumentasikan jejak penting dalam peradaban Nusantara, yakni jejak Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia,” kata Mardiyah Chamim, Direktur Tempo Institute, dalam pembukaan acara Festival Borobudur.

Tema Festival Borobudur yang keempat kali ini adalah “Gunung, Bencana, dan Mitos di Nusantara”. Arkeolog, antropolog, ahli sejarah, penulis, didatangkan untuk berdiskusi di forum-forum festival. Erupsi gunung berapi, mulai dari Toba, Tambora, Merapi, dalam sejarah memang berperan signifikan dalam menghapus jejak peradaban kuno.

“Gunung adalah pusat peradaban di nusantara. Membicarakan gunung adalah membicarakan peradaban,” kata Seno Joko Suyono, wartawan Tempo yang juga salah satu penggagas festival ini. Lokasi festival ini pun dipiih bergiliran di antara lima gunung di kawasan Jawa Tengah, yakni Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, Menoreh, dan Sumbing.

Namun, sesungguhnya bukan hanya bencana yang berperan menggerus peradaban di Nusantara. Ketiadaan upaya yang serius mendokumentasikan, dalam berbagai medium, pun turut menghapus kekayaan budaya dan peradaban kita. Ekspedisi Kudungga menunjukkan hal tersebut. Kalimantan tidak memiliki gunung api, namun peradaban yang ditinggalkan Kutai, toh, tidak terdokumentasikan dengan baik. Karenanya, Tempo Institute, bekerja sama dengan Total E&P Indonesie, berupaya menelusuri kembali jejak peradaban Kutai yang selama ini amat terbatas dicatat dalam lembar sejarah Indonesia.

Tidak seperti kerajaan di Pulau Jawa dan Sumatera, Kerajaan Kutai Martadipura praktis tidak meninggalkan keraton, lontar, atau kitab kuno.  Jejak yang cukup fenomenal adalah yupa (prasasti) yang diketemukan di kawasan Muara Kaman, ibu kota Kerajaan Kutai Martadipura, di Kalimantan Timur. Salah satu prasasti, yang diduga berasal dari abad keempat Masehi, itu menyebutkan bahwa Raja Mulawarman menghadiahkan 20 ribu ekor sapi kepada Brahmana di Kutai.

Tentu saja ini menimbulkan deretan pertanyaan di kalangan para pemerhati sejarah Kutai. “Apakah benar 20 ribu ekor sapi? Dari mana sapi itu didapat mengingat sapi bukanlah hewan endemik di Kalimantan? Apakah sapi-sapi itu didatangkan dari Jawa atau Bali? Berarti logistik dan pengangkutan sudah cukup kuat di masa itu?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tim Ekspedisi Kudungga terdiri dari jurnalis, antara lain Mardiyah Chamim, Yosep Suprayogi, Qaris Tajudin, Muhlis Suhaeri, Kartika Chandra, dan fotojurnalis, yakni Rully Kesuma, Jefrie Aries, dan Aditia Noviansyah. Endah Wahyu Sulistianingsih, pembuat film dokumenter, menyertai tim ini dengan membuat video dokumenter.

Selama setahun lebih tim ini mendatangi berbagai lokasi di Kalimantan Timur, menelusuri gua-gua dengan lukisan purba di Gua Sangkulirang, mengunjungi pedalaman bertemu degan para sesepuh suku dayak, dan napak tilas tempat-tempat yang diduga memiliki benang merah dengan Kutai Martadipura, Kerajaan Kutai Kartanegara, hingga menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara. Tentu saja, tak semua tapak sejarah sepenuhnya terungkap dalam ekspedisi ini. “Buku ini baru merupakan pembuka, untuk ditelusuri lebih jauh melalui berbagai riset dan ekspedisi lain, oleh berbagai pihak,” kata Mardiyah Chamim.

Seperti yang diungkapkan dalam epilog buku Ekspedisi Kudungga ini, begitu luar biasa interaksi antar suku, antar bangsa, yang terjadi di bumi Nusantara ini. Kutai Martadipura, sejak awal peradaban Masehi, telah menunjukkan adanya pengaruh India (berupa pemberian sapi oleh raja kepada Brahmana), Mesir (dalam bentuk manik-manik perhiasan), dan Cina (yang mempengaruhi teknik anyaman di Kalimantan). Semua hal ini menegaskan bahwa Nusantara memang tak pernah hanya tentang satu warna, tentang satu etnis, atau satu kelompok saja. Nusantara adalah tentang bumi dan manusia yang bhinneka, yang berlimpah warna.

Mardiyah Chamim: Dalam acara peluncuran buku ini, Mardiyah Chamim menyerahkan buku "Ekspedisi Kudungga", antara lain kepada Romo Mudji Sutrisno, Yoke Darmawan, dan Romo G. Budi Subanar.

YS

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

BMKG Yogyakarta Keluarkan Peringatan Cuaca Ekstrem, Wisatawan Perlu Waspada saat ke Pantai

15 hari lalu

Wisatawan mengunjungi objek wisata Pantai Parangkusumo di Bantul, DI Yogyakarta, Jumat 1 Januari 2021. Pascapenutupan kawasan wisata pantai selatan Yogyakarta pada malam pergantian tahun baru, pengunjung memadati kawasan tersebut untuk menghabiskan libur tahun baru meskipun kasus COVID-19 di Yogyakarta terus meningkat. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
BMKG Yogyakarta Keluarkan Peringatan Cuaca Ekstrem, Wisatawan Perlu Waspada saat ke Pantai

Seorang wisatawan asing asal Hungaria juga dilaporkan sempat terseret ombak tinggi saat sedang melancong di Pantai Ngandong, Gunungkidul, Yogyakarta.


Yogyakarta Tutup TPA Piyungan, Bagaimana Pengelolaan Sampah Destinasi Wisata Itu di Masa Depan?

21 hari lalu

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara simbolik melakukan penutupan TPA Piyungan pada awal Maret 2024. TPA Piyungan selama ini menampung sampah dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Bantul. (Dok. Istimewa)
Yogyakarta Tutup TPA Piyungan, Bagaimana Pengelolaan Sampah Destinasi Wisata Itu di Masa Depan?

Penutupan TPA Piyungan diharapkan bakal menjadi tonggak perubahan dalam pengelolaan sampah di Yogyakarta.


Sokong Wisata Berkualitas, Yogyakarta Bentuk Ekosistem Kota Kreatif

23 hari lalu

Sejumlah karya industri kreatif dipamerkan di Pusat Desain Industri Nasional (PDIN) di Yogyakarta.  (Dok. Istimewa)
Sokong Wisata Berkualitas, Yogyakarta Bentuk Ekosistem Kota Kreatif

Yogyakarta memiliki unsur 5K yaitu Kota, Korporasi, Komunitas, Kampung dan Kampus, yang jadi modal mewujudkan Yogyakarta sebagai Kota Kreatif.


Bersama Baznas, Berkolaborasi Menghimpun Potensi Zakat

28 hari lalu

Bersama Baznas, Berkolaborasi Menghimpun Potensi Zakat

Baznas hingga saat ini telah melakukan kolaborasi penuh dengan Lembaga Amil Zakat


Mengenal Tradisi Selasa Wagen, Hari Saat Pedagang Malioboro Beristirahat dan Bersih Bersih

30 hari lalu

Tradisi Selasa Wagen yang meliburkan para pedagang di kawasan Malioboro Yogyakarta untuk bersih bersih kawasan kembali digelar Selasa (27/2). (Dok. Istimewa)
Mengenal Tradisi Selasa Wagen, Hari Saat Pedagang Malioboro Beristirahat dan Bersih Bersih

Selasa Wagen di kawasan Malioboro berlangsung setiap 35 hari sekali merujuk hari pasaran kalender Jawa.


Jurus Yogya Lestarikan Aksara Jawa, Gelar Sekolah Khusus di Seluruh Kampung

36 hari lalu

Salah satu peserta saat mengikuti pembelajaran pawiyatan aksara Jawa di Kota Yogyakarta. (Dok. Istimewa)
Jurus Yogya Lestarikan Aksara Jawa, Gelar Sekolah Khusus di Seluruh Kampung

Pawiyatan aksara Jawa ini digelar serentak di 30 kampung mulai 20 Februari hingga 5 Maret 2024 di Kota Yogyakarta.


Gratis, Tour de Kotabaru Ajak Wisatawan Lari Santai Lintasi Heritage Yogyakarta Pekan Ini

39 hari lalu

Lokasi Boulevard Kotabaru yang memanjang di tengah Jalan Suroto itu berada di kawasan heritage Kotabaru, Yogyakarta. Tempo/Pino Agustin Rudiana
Gratis, Tour de Kotabaru Ajak Wisatawan Lari Santai Lintasi Heritage Yogyakarta Pekan Ini

Kotabaru di masa silam merupakan permukiman premium Belanda yang dibangun Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono VII sekitar 1877-1921.


Malioboro Lengang saat Pemilu, Sultan HB X Beri Pesan untuk Capres-Cawapres dan Pendukungnya

44 hari lalu

Kawasan Titik Nol Kilometer, ujung Jalan Malioboro Yogyakarta tampak lengang saat pelaksanaan Pemilu pada Rabu siang, 14 Februari 2024. (Tempo/Pribadi Wicaksono)
Malioboro Lengang saat Pemilu, Sultan HB X Beri Pesan untuk Capres-Cawapres dan Pendukungnya

Susana berbeda terlihat di kawasan wisata Kota Yogyakarta saat Pemilu. Kawasan yang biasanya ramai oleh wisatawan tampak lengang.


Wisatawan Perlu Tahu, Dua Kawasan di Kota Yogyakarta Ini Jadi Pusat Kampanye Terbuka

22 Januari 2024

Stadion Mandala Krida Yogyakarta (Dok. Pemda DIY)
Wisatawan Perlu Tahu, Dua Kawasan di Kota Yogyakarta Ini Jadi Pusat Kampanye Terbuka

Di Kota Yogyakarta, ada dua tempat yang disiapkan menjadi pusat kampanye terbuka, kemungkinan akan padat.


Yogyakarta Bidik Quality Tourism, Begini Tren Wisata 2024 Menurut Peneliti UGM

18 Januari 2024

Malioboro Yogyakarta menjadi satu area yang dilalui garis imajiner Sumbu Filosofis. (Dok. Pemkot Yogyakarta)
Yogyakarta Bidik Quality Tourism, Begini Tren Wisata 2024 Menurut Peneliti UGM

Selama kurun waktu 2023 jumlah kunjungan di Kota Yogyakarta lebih dari 7 juta wisatawan.