TEMPO.CO, Jogjakarta - Tempo Institute meluncurkan buku “Ekspedisi Kudungga - Menelusuri Jejak Peradaban Kutai” edisi Konsultasi dalam acara Festival Penulis dan Budaya Borobudur, yang berlangsung 12-14 November ini di Yogyakarta dan Magelang. “Buku ini adalah upaya mendokumentasikan jejak penting dalam peradaban Nusantara, yakni jejak Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia,” kata Mardiyah Chamim, Direktur Tempo Institute, dalam pembukaan acara Festival Borobudur.
Tema Festival Borobudur yang keempat kali ini adalah “Gunung, Bencana, dan Mitos di Nusantara”. Arkeolog, antropolog, ahli sejarah, penulis, didatangkan untuk berdiskusi di forum-forum festival. Erupsi gunung berapi, mulai dari Toba, Tambora, Merapi, dalam sejarah memang berperan signifikan dalam menghapus jejak peradaban kuno.
“Gunung adalah pusat peradaban di nusantara. Membicarakan gunung adalah membicarakan peradaban,” kata Seno Joko Suyono, wartawan Tempo yang juga salah satu penggagas festival ini. Lokasi festival ini pun dipiih bergiliran di antara lima gunung di kawasan Jawa Tengah, yakni Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, Menoreh, dan Sumbing.
Namun, sesungguhnya bukan hanya bencana yang berperan menggerus peradaban di Nusantara. Ketiadaan upaya yang serius mendokumentasikan, dalam berbagai medium, pun turut menghapus kekayaan budaya dan peradaban kita. Ekspedisi Kudungga menunjukkan hal tersebut. Kalimantan tidak memiliki gunung api, namun peradaban yang ditinggalkan Kutai, toh, tidak terdokumentasikan dengan baik. Karenanya, Tempo Institute, bekerja sama dengan Total E&P Indonesie, berupaya menelusuri kembali jejak peradaban Kutai yang selama ini amat terbatas dicatat dalam lembar sejarah Indonesia.
Tidak seperti kerajaan di Pulau Jawa dan Sumatera, Kerajaan Kutai Martadipura praktis tidak meninggalkan keraton, lontar, atau kitab kuno. Jejak yang cukup fenomenal adalah yupa (prasasti) yang diketemukan di kawasan Muara Kaman, ibu kota Kerajaan Kutai Martadipura, di Kalimantan Timur. Salah satu prasasti, yang diduga berasal dari abad keempat Masehi, itu menyebutkan bahwa Raja Mulawarman menghadiahkan 20 ribu ekor sapi kepada Brahmana di Kutai.
Tentu saja ini menimbulkan deretan pertanyaan di kalangan para pemerhati sejarah Kutai. “Apakah benar 20 ribu ekor sapi? Dari mana sapi itu didapat mengingat sapi bukanlah hewan endemik di Kalimantan? Apakah sapi-sapi itu didatangkan dari Jawa atau Bali? Berarti logistik dan pengangkutan sudah cukup kuat di masa itu?”
Tim Ekspedisi Kudungga terdiri dari jurnalis, antara lain Mardiyah Chamim, Yosep Suprayogi, Qaris Tajudin, Muhlis Suhaeri, Kartika Chandra, dan fotojurnalis, yakni Rully Kesuma, Jefrie Aries, dan Aditia Noviansyah. Endah Wahyu Sulistianingsih, pembuat film dokumenter, menyertai tim ini dengan membuat video dokumenter.
Selama setahun lebih tim ini mendatangi berbagai lokasi di Kalimantan Timur, menelusuri gua-gua dengan lukisan purba di Gua Sangkulirang, mengunjungi pedalaman bertemu degan para sesepuh suku dayak, dan napak tilas tempat-tempat yang diduga memiliki benang merah dengan Kutai Martadipura, Kerajaan Kutai Kartanegara, hingga menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara. Tentu saja, tak semua tapak sejarah sepenuhnya terungkap dalam ekspedisi ini. “Buku ini baru merupakan pembuka, untuk ditelusuri lebih jauh melalui berbagai riset dan ekspedisi lain, oleh berbagai pihak,” kata Mardiyah Chamim.
Seperti yang diungkapkan dalam epilog buku Ekspedisi Kudungga ini, begitu luar biasa interaksi antar suku, antar bangsa, yang terjadi di bumi Nusantara ini. Kutai Martadipura, sejak awal peradaban Masehi, telah menunjukkan adanya pengaruh India (berupa pemberian sapi oleh raja kepada Brahmana), Mesir (dalam bentuk manik-manik perhiasan), dan Cina (yang mempengaruhi teknik anyaman di Kalimantan). Semua hal ini menegaskan bahwa Nusantara memang tak pernah hanya tentang satu warna, tentang satu etnis, atau satu kelompok saja. Nusantara adalah tentang bumi dan manusia yang bhinneka, yang berlimpah warna.
Mardiyah Chamim: Dalam acara peluncuran buku ini, Mardiyah Chamim menyerahkan buku "Ekspedisi Kudungga", antara lain kepada Romo Mudji Sutrisno, Yoke Darmawan, dan Romo G. Budi Subanar.
YS