TEMPO.CO, Jakarta - Markus Huluk, 35 tahun, pengarang buku Menggugat Freeport: Suatu Jalan Penyelesaian Konflik, meminta penduduk lokal dilibatkan dalam perundingan kontrak karya antara pemerintah dengan PT Freeport. Hal itu agar hak dan kewajiban antara penduduk lokal, pemerintah, dan Freeport menjadi jelas.
"Dalam kontrak karya pertama dan kedua, tidak pernah melibatkan orang Papua khususnya suku Amnungme dan Kamoro sebagai pemilik hak ulayat," kata Markus dalam diskusi membedah buku karyanya di kantor Komnas HAM, Jumat, 13 November 2015.
Baca Juga:
(Baca:Dua Tuntutan Komnas HAM Terkait Renegoisasi Freeport)
Menurut Markus Huluk, warga Papua adalah pemilik saham tanah, Freeport pemilik saham uang, dan pemerintah sebagai regulator. Sebab itu upaya duduk bersama itu penting karena konflik kekerasan dan protes dari warga Papua masih kerap terjadi.
Perlibatan itu, kata dia, dimulai dari proses awal yaitu negoisasi. Namun sebelumnya, ia meminta ada upaya konsolidasi di antara warga Papua, karena masyarakat sudah dipecah belah oleh Freeport. "Kami berupaya agar warga bersatu, karena kalau masyarakat bersatu Freeport selalu takut," ujar dia
Senada dengan Markus, Hans Magal, tokoh muda Amungme tinggal di Timika, juga meminta agar warga Papua dapat bersatu, dan menuntut agar dilibatkan dalam negoisasi kontrak karya Freeport.
Pemerintah belum mau melakukan negoisasi perpanjangan kontrak dengan Freeport. Sebab perpanjangan izin baru dapat dilakukan dua tahun sebelum kontrak habis atau pada 2019.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan, bila ingin memperpanjang kontrak karyanya, PT Freeport harus berusaha memenuhi permintaan Indonesia. "Kami katakan, jika Freeport mau memenuhi permintaan pemerintah, bukan tidak mungkin terjadi kesepakatan," kata Rizal di kantornya, Kamis, 12 November 2015.
Dalam pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Freeport pada Oktober lalu, pemerintah meminta lima hal yaitu terkait royalti, divestasi, peningkatan kandungan lokal, hilirisasi industri/smelter, dan pembangunan Papua.
AHMAD FAIZ IBNU SANI