TEMPO.CO, Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera tak begitu mendukung usulan panitia khusus terkait dengan hasil audit forensik Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) periode 2012-2014. Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mardani Ali Sera menyarankan pemerintah segera meminta Badan Pemeriksa Keuangan menghitung kerugian negara, yang selanjutnya diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Kalau dibuat juga boleh, tapi saya khawatir. Kalaupun ada pansus, tidak tepat meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah sekarang," kata Mardani saat dihubungi, Kamis, 12 November 2015. Dia khawatir, kalau pansus dibentuk sekarang, justru malah memperlambat kinerja penegak hukum. "Kalau pansus untuk periode lalu boleh, tapi kan sudah tidak lagi, tidak banyak membantu merapikan the damage."
Karena itu, pansus baru diperlukan ketika penegak hukum yang menangani kasus Petral ini bertindak lamban. Pansus, kata dia, harus berfungsi sebagai katalisator bagi penegak hukum untuk bekerja dengan cepat.
Mardani juga meminta pemerintah membuka hasil audit ke publik. Sebab, kerugian yang ditimbulkan Petral tak mungkin sedikit, sehingga masyarakat harus turut mengawasi kinerja penegak hukum nanti. "Buka ke publik. Publik harus menanggapi ketika ada fraud," ujarnya.
Berbeda dengan PKS yang tak begitu mendukung pansus, Partai Persatuan Pembangunan belum menentukan sikap. Ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar mengaku belum ada pembahasan soal Petral lantaran anggotanya masih reses. "Belum ada pembicaraan. Anggota saya juga belum lapor. Masih tidak jelas tentang rencana itu," tutur Hasrul.
Sebelumnya, pembentukan panitia khusus Petral diusulkan politikus NasDem, Kurtubi. Menurut Kurtubi, pansus dibentuk supaya ada kejelasan informasi dan kemungkinan langkah hukum yang bisa diambil pihak berwenang.
Audit forensik dari auditor internasional Kordha Mentha menyebutkan adanya mafia yang menyebabkan pengadaan minyak oleh Petral menjadi lebih mahal. Audit periode 2012-2014 itu menemukan kejanggalan. Sebab, sejak 2012, Petral selalu memprioritaskan pengadaan minyak lewat perusahaan minyak nasional rekanannya. Akibat penggiringan itu, Pertamina cuma mendapat diskon US$ 30 sen per barel, dari yang seharusnya bisa US$ 1,3 per barel.
LINDA TRIANITA | ROBBY IRFANY