TEMPO.CO, Jakarta - Sidang Pengadilan Rakyat Internasional atau International People's Tribunal (IPT) atas tragedi pembantaian massal 1965 yang digelar di Den Haag Belanda memasuki hari ketiga. Warga Indonesia bisa mengikuti sidang yang digelar secara live streaming melalui situs 1965tribunal.org. Namun, sejak Kamis, 12 November 2015 siang ini, tiba-tiba situs itu tak bisa diakses.
Begitu di-klik, laman 1965tribunal.org akan berhadapan dengan tulisan "Error 403 - Forbidden." Dalam keterangan pemblokiran situs itu, tertulis: “In many cases this is not an indication of an actual problem with the server itself but rather a problem with the information the server has been instructed to access as a result of the request” atau “dalam banyak kasus, hal ini bukan indikasi masalah pada server, tapi masalah pada informasi yang tersedia di dalam server tersebut”.
Sejauh ini belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab soal pembajakan atau pemblokiran itu.
Seperti diketahui, Sidang Rakyat 1965 di Den Haag, Belanda berlangsung sejak Selasa, 10 November 2015 hingga 13 November mendatang. Pengadilan ini digelar bertepatan dengan peringatan 50 tahun pembantaian jutaan warga Indonesia yang diduga menjadi anggota atau simpatisan PKI.
Persidangan People's Tribunal ini dipimpin oleh hakim tuna netra asal Afrika Selatan, Zak Yacoob. Sidang digelar di ruang utama bangunan yang dulunya berfungsi sebagai gereja. Selain warga Belanda, sidang ini juga menarik pengunjung dari Jerman atau Prancis. Banyak pula dari Indonesia. Namun, sedikit anak muda yang datang.
Dalam persidangan itu, Jaksa Penuntut Umum Pengadilan kasus 1965 Todung Mulya Lubis menyebut Negara Indonesia menjadi terdakwa pembunuhan dan kekerasan dalam kasus 1965. Sayangnya, tak satu pun wakil Indonesia berada di ruangan itu.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pengadilan itu semu, tak ada gunanya, dan tak perlu ditanggapi. Karena itu, pemerintah Indonesia tidak akan meminta maaf atas kasus yang telah terjadi 50 tahun silam itu. "Masa Pemerintah minta maaf, padahal yang dibunuh para jenderal kita, gimana sih?" kata Kalla, Rabu, 11 November 2015.
WDA | YON DEMA