TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali meluncurkan pernyataan pedas menanggapi Pengadilan Rakyat Hak Asasi Manusia di Den Haag, Belanda, untuk aksi kekerasan massal selama tragedi 1965. Dia meminta masyarakat tak menanggapi hasil pengadilan yang berlangsung tiga hari sampai 13 November 2015 itu.
Wakil Presiden bahkan menganggap pengadilan yang digelar para aktivis HAM tadi bukan pengadilan sungguhan. "Itu hanya pengadilan semu, mungkin latihan-latihan, tak usah kita tanggapi," kata Kalla di Istana Wakil Presiden, Rabu, 11 November 2015.
Kemarin, 10 November 2015, JK memastikan pemerintah tak akan meminta maaf atas kejadian pada 1965 meski pengadilan memutuskan agar Indonesia meminta maaf.
JK pun berpendapat, Belanda tak pada tempatnya mengizinkan pengadilan itu sebab di zaman penjajahan banyak kekejaman yang dibuat kolonial Belanda. Bisa saja Indonesia menggelar pengadilan menuntut para korban Belanda. "Kalau mau begitu, kita adili Belanda juga, berapa yang dibunuh Belanda di sini?" ujarnya.
Negara Indonesia menjadi terdakwa dalam Pengadilan Rakyat Internasional 1965 yang digelar di NieuweKerk, Den Haag, Belanda. Sayangnya, karena tidak ada wakil dari pemerintah Indonesia, meja untuk terdakwa di sisi kanan panel hakim, kosong.
Persidangan People's Tribunal ini dipimpin hakim tunanetra asal Afrika Selatan, Zak Yacoob. Sidang digelar di ruang utama bangunan yang dulunya berfungsi sebagai gereja. Selain warga Belanda, sidang ini juga menarik pengunjung dari Jerman atau Prancis. Banyak pula dari Indonesia. Namun, sedikit anak muda yang datang.
Baca Juga:
Gadis Payung nan Cantik Itu Jadi Kekasih Rossi, Ini Kisahnya
Pengadilan HAM Den Haag, Kalla: Kita Akan Adili Belanda!
Diadili di Belanda, Kalla: Pemerintah Tak Sudi Minta Maaf
Hijaber Cantik UNJ Tewas, Ini Alasan Delea ke Bandung
Sidang hari pertama Pengadilan Rakyat atau People's Tribunal tentang Peristiwa 1965 berlangsung Selasa, 10 November 2015. Jaksa penuntut umum membacakan dua dakwaan atas negara Republik Indonesia, yakni pembunuhan massal dan perbudakan.
Dalam setiap item dakwaan, selalu ada beberapa saksi yang diajukan. Misalnya, saat penuntutan untuk item pembunuhan, empat orang saksi maju untuk memberikan kesaksian.
Dua saksi memberikan kesaksian terbuka. Salah satunya adalah seorang pria bernama Martono yang mengaku ikut membuang mayat-mayat korban pembantaian 1965 ke Sungai Bengawan Solo. Seorang peneliti dan seorang jurnalis independen, memberikan kesaksian dari balik tirai hitam. Untuk melindungi identitas mereka, kedua saksi juga menggunakan nama alias.
Persidangan hari pertama ini dibuka tepat pukul 09.00 pagi. Acara dimulai dengan pidato pembukaan oleh Koordinator Pengadilan Rakyat Internasional 1965, Nursyahbani Katjasungkana.
Kalla mempersilakan para saksi dari Indonesia untuk hadir memberikan kesaksian. Ia menjamin kesaksian mereka tak akan dipermasalahkan pemerintah. "Silakan saja (kalau mau bersaksi)," kata Kalla.
TIKA PRIMANDARI | PURWANI DYAH PRABANDARI