TEMPO.CO, Kupang - Kasus penyuapan yang dilakukan tentara Australia terhadap enam anak buah kapal (ABK) yang mengantar 65 imigran gelap asal Timur Tengah ke Australia untuk kembali ke perairan Indonesia mulai digelar di Pengadilan Negeri Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Rabu, 11 November 2015.
Dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan, jaksa penuntut umum menampilkan barang bukti berupa dua unit kapal yang mengangkut imigran tersebut. Sedangkan uang sebesar US$ 31 ribu, dengan rincian masing-masing ABK sebesar US$ 5.000, tidak dijadikan barang bukti. Alasannya, uang tersebut tidak termasuk pembayaran para imigran terahadap perekrut.
Sidang dihadiri enam terdakwa kasus penyuapan, di antaranya Yohanes Lumiang, selaku nakhoda, serta lima ABK, yakni Marten Karaeng, Yapi Pono, Medi Apao, Indra Romandi, dan Steven Worotijen, yang didampingi kuasa hukum mereka, Yesaya Daepani.
Jaksa Alexander Sale, dalam dakwaannya, menjerat keenam terdakwa dengan pasal berlapis, yakni Pasal 120 ayat 1 tentang keimigrasian dan Pasal 323 ayat 1 Undang-Undang Pelayaran. Dalam uraiannya, Alexander mengaku hanya membawa barang bukti berupa dua kapal yang mengangkut imigran gelap itu ke Australia. Sedangkan uang sebagai suap tidak dijadikan alat bukti berkas penyelidikan.
"Uang tersebut tidak termasuk perjanjian pembayaran pengiriman oleh imigran terhadap pihak perekrut," katanya.
Dalam persidangan yang dipimpin hakim ketua Ary Wahyu Irawan dan hakim anggota Sisere Nenohaifeto serta Fransiscus Lae itu, perkara yang diadili dipisah menjadi tiga berkas, di antaranya berkas atas nama Yohanis Lumiang sebagai nakhoda. Sedangkan kelima ABK kapal dan perekrut para imigran di Jakarta masih dalam pemberkasan dan baru akan dilimpahkan ke pengadilan pekan depan.
YOHANES SEO