TEMPO.CO, DEN HAAG - Pemimpin Jaksa Peradilan Rakyat di Den Haag, Todung Mulya Lubis, menilai tidak ada upaya tulus dari pemerintah menyelesaikan semua kasus pelanggaran berat dan sistematis hak asasi manusia sejak 1965. “Pemerintah menolak secara terbuka mendiskusikan masalah ini dan, jika ada diskusi, kemudian sangat mungkin diskusi mereka akan dilarang,” ujar Todung dalam pidatonya, Selasa, 10 November 2015.
Todung mengatakan para korban dan aktivis hak asasi manusia terus berusaha mengungkap kebenaran atas peristiwa pelanggaran yang terjadi setelah 1965.
Todung menyebutkan orang-orang yang terkait dengan 1965 selalu mendapat diskriminasi, bahkan diperlakukan seperti penjahat. “Tidak ada yang berubah meskipun sudah memasuki era reformasi ketika demokrasi, aturan hukum, dan hak asasi manusia tampaknya lebih dihormati,” ujarnya.
Todung mengatakan ada kemungkinan dirinya dianggap sebagai pengkhianat bangsa karena memperlihatkan sisi gelap bangsa dan masyarakat Indonesia. Bahkan kemungkinan ia ditahan akibat upaya yang ia lakukan mengungkap peristiwa 1965. Presiden Joko Widodo, kata Todung, telah menolak meminta maaf atas tragedi tersebut. “Fakta itu membawa kami pada kesimpulan bahwa pemerintah tampaknya tidak ingin berurusan dengan apa pun yang berhubungan dengan kekejaman yang terjadi pada 1965 dan seterusnya,” ucapnya.
Sebagian besar korban yang masih hidup sudah sangat tua. Karena itu, kata Todung, atas nama kebenaran dan keadilan, "Kami harus melanjutkan dengan pengadilan ini untuk menemukan kebenaran. Harapannya, pemerintah akan mendengar, melakukan perbaikan menuju keadilan yang ingin dicapai."
“Ini bukan pengadilan dalam arti hukum. Kami tim kejaksaan bukan benar-benar jaksa, tapi kami berfungsi dan berjuang bersama-sama untuk menemukan kebenaran dan keadilan,” ucapnya.
PURWANI DIAH (Den Haag) | DANANG FIRMANTO (Jakarta)