TEMPO.CO, Balikpapan - Dosen Universitas Mulawarman Samarinda, Yaya Rayadin, menyatakan satwa asli Kalimantan, orang utan, terancam kelangsungan hidupnya akibat praktek perburuan liar. Setidaknya, hampir 90 persen habitat orang utan berada di luar kawasan konservasi sehingga menyulitkan pengawasan.
“Hampir 90 persen populasi orangutan itu jadinya terancam,” kata dosen Fakultas Kehutanan, yang juga merangkap peneliti orangutan di Kaltim, Senin, 9 November 2015.
Yaya mengatakan mayoritas habitat alam orang utan Kalimantan berada di area perkebunan sawit, hutan tanaman industri, kebun warga, hingga kawasan pertambangan. Karena itu, kawanan primata ini hidupnya kerap bersinggungan dengan manusia yang berimbas pada praktek perburuan liar.
Masyarakat, menurut Yaya, kerap menuding orang utan sebagai hama yang merusak area perkebunan milik warga. Padahal ini terjadi akibat semakin sempitnya sumber makanan alami orang utan di alam liar.
“Mereka merusak area perkebunan karena mencari makanan. Ini yang kemudian menjadi penyebab terjadinya pembantaian orang utan,” tuturnya.
Terbatasnya kawasan konservasi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara menjadi penyebab orang utan banyak hidup di luar kawasan konservasi. Padahal konservasi merupakan tempat ideal bagi orang utan karena akan terlindungi.
Yaya menilai konflik antara orang utan dan manusia sudah tidak bisa terhindarkan, mengingat masifnya industri perkebunan dan pertambangan di Kalimantan. Area populasi alamiah primata orang utan semakin terdesak dengan adanya perizinan industri perkebunan dan pertambangan saat ini.
Karena itu, Yaya menyarankan ada konsentrasi populasi orang utan di satu kawasan konservasi yang wilayahnya benar-benar terjaga. Dia mencontohkan sejumlah kawasan konservasi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, seperti Hutan Lindung Sungai Wain (10 ribu hektare), Hutan Lindung Sungai Lesan (10 ribu hektare), Hutan Lindung Wehea (20 ribu hektare), dan Taman Nasional Kutai (200 ribu hektare).
SG WIBISONO