Moechtar bersama rombongan keluarga besarnya, pergi ke Surabaya dengan naik kapal milik Belanda dari Pacitan dan mendarat di Surabaya. “Kami mengitari setengah pulau Jawa dari selatan Jawa menuju pelabuhan di utara Pulau Jawa, di Surabaya,” kata Moechtar.
Semula, Moechtar berniat menjadi guru. Sebuah profesi yang menurut dia terhormat dan berwibawa. Tapi, tawaran menjadi guru ketika itu tidak untuk penempatan di Surabaya, tetapi di Bondowoso. Moechtar menolak tawaran itu, dan memilih bertahan di Surabaya. Ia bersama saudaranya sempat tinggal di Pasar Besar Wetan, di Surabaya. Kini, tidak jauh dari Tugu Pahlawan Surabaya.
Lewat interaksi dan perkenalan dengan sejumlah orang di Surabaya, pada tahun 1951 Moechtar menjadi wartawan untuk media bernama Harian Umum. Ia bekerja di media ini hingga tahun 1968. Ketika menjadi wartawan inilah, Moechtar kenal dengan Bung Tomo. Perkenalan pertama Moechtar dengan Bung Tomo terjadi pada tahun 1950, ketika wartawan Surabaya melakukan liputan mewawancarai tokoh di Tugu Pahlawan Surabaya. Wawancara itu di lapangan terbuka. Moechtar tidak ingat persis ketika itu sedang wawancara apa, dan siapa tokoh itu.
Melalui Asmanu, kolega sesama wartawan di Surabaya, Moechtar diperkenalkan ke Bung Tomo. Semula, ia mengenal Bung Tomo dari suaranya saja. Karena kesamaan profesi, Moechtar kenal langsung dengan Bung Tomo. Kesan pertama Moechtar melihat dan kenalan dengan Bung Tomo adalah, ternyata Bung Tomo berbadan kecil tapi tubuhnya padat. Ia tak menduga orang yang di radio terdengar bersuara gagah dan menggelora, ternyata secara fisik tubuhnya kecil. Bung Tomo, kata Moechtar, adalah tipe orang yang ramah dan hangat. “Sejak itu, dalam beberapa kesempatan, saya bertemu Bung Tomo,” kata Moechtar.
Selanjutnya: Mengkritik Soeharto, Sukarno, dan Mahasiswi Nakal