TEMPO.CO, Tulungagung - Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan hampir menuntaskan renovasi bangunan induk Candi Sanggrahan di Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Pekerjaan itu menjadi bagian dari pemugaran senilai Rp 1 miliar atas candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang rusak parah karena vandalisme dan pencurian arca.
Proses renovasi oleh tim pemugaran Candi Sanggrahan telah dimulai sejak 2014. Secara bertahap bangunan candi telah kembali ke bentuk semula. “Kami fokus pada candi induk dulu,”kata Iwan Tarwanto, koordinator tim pemugaran Candi Sanggrahan, Sabtu 7 November 2015.
Dia menjelaskan proses pemugaran ini memerlukan waktu cukup lama dan anggaran yang tak sedikit. Karena itu diperkirakan proyek ini akan tuntas dalam waktu tiga tahun dengan berbagai skenario renovasi yang bertahap.
Tim mentargetkan renovasi bangunan induk akan bisa tuntas akhir bulan ini. Selanjutnya tim akan menunggu pencairan anggaran dari APBN untuk tahap berikutnya. Diperkirakan biaya pemulihan bangunan yang menjadi tempat pembakaran sekaligus pelepasan jenasah Ratu Gayatri pada awal Kerajaan Majapahit ini mencapai Rp 1 miliar dan akan tuntas pada 2016 mendatang.
Proses pemugaran ini diawali dengan penyusunan peta dan maket renovasi. Selanjutnya tim memasang konstruksi tiang kayu mengelilingi candi utama sebelum memulai pemugaran. Jika tak ada kendala teknis, tim akan memasuki pemugaran pagar yang mengelilingi kompleks candi pada tahun ketiga tahun depan.
Iwan menuturkan renovasi ini sempat terkendala bahan baku untuk mengganti bagian candi yang rusak dan hilang. Tim berusaha mencari bahan batu yang mendekati kontur candi asli meski hal itu memakan waktu cukup lama. Upaya ini cukup sulit mengingat tak banyak perajin batu yang bersedia melakukan pemotongan material batu yang kepadatannya tidak merata seperti kontur batu asli. “Ïni bisa merusak gigi gergaji,” kata Iwan.
Hal ini memaksa tim pemugaran memakai batuan sedimen hasil olahan perajin batu di wilayah Kecamatan Campurdarat, Tulungagung, yang memiliki kemiripan dengan batu asli. Sedangkan untuk bata merah yang memiliki ukuran ketebalan dan lebar tertentu mengandalkan perajin dari kawasan Trowulan di Mojokerto.
HARI TRI WASONO