TEMPO.CO, Jakarta -Gerakan Pemuda Anshor mengecam rencana peradilan rakyat terkait tragedi 1965. Ketua GP anshor, Nusron Wahid berpendapat mekanisme itu berpotensi merusak proses rekonsiliasi di antara keluarga korban. “Kami menyayangkan sikap segelintir orang orang yang mengangkat kasus ini ke level internasional,” ujarnya ketika dihubungi, Jumat, 6 November 2015.
Peradilan rakyat tragedi 1965 bakal digelar di Kota Den Haag, Belanda. Sidang panel hakim yang terdiri dari tujuh orang akan menguji sembilan dakwaan yang diajukan tim penuntut. Beberapa di antaranya terkait pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, dan keterlibatan negara lain dalam kasus pembantaian massal pasca meletusnya tragedi 30 September 1965.
Baca: Tragedi 1965 Diselesaikan Lewat Pengadilan Rakyat
Putusan peradilan rakyat tak bersifat mengikat, melainkan sebatas putusan moral yang mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan. Aktivis HAM, Nursyahbani Katjasungkana ditunjuk sebagai koordinator tim pembentukan peradilan ini. Adapun materi dakwaan diajukan sejumlah pengacara seperti Todung Mulya Lubis, Antarini Arna, Uli Parulian Sihombing, dan Bahrain Ma’mun.
Menurut Nusron, penyelesaian tragedi itu tak layak diangkat dalam forum peradilan internasional. Sebab, situasi yang berkembang saat itu merupakan peperangan berlatar ideologis di antara anak bangsa. Dalam situasi itu, kata dia, setiap orang yang berada dalam pusaran konflik dihadapkan oleh pertaruhan pilihan antara membunuh atau dibunuh. “Jadi tidak jelas siapa yang bersalah,” kata dia.
Baca: Jokowi Enggan Nyatakan Maaf Bagi Korban Tragedi 1965
Di kalangan Nahdyiyin, kata Nusron, tragedi 1965 dianggap sebagai medan pertarungan ideologi Pancasila dan faham Komunisme. “Ini pertarungan kosmos politik yang tidak bisa cukup difahami lewat pendekatan saat ini,” katanya. Keterlibatan kalangan santri ketika itu justru ingin meneguhkan pondasi agama yang dijamin Pancasila. “Malah PKI yang sebenarnya ingin berkhianat mengganti ideologi,” kata dia.
Nusron berpandangan persoalan itu lebih mudah diselesaikan dengan jalur rekonsiliasi di akar rumput. Para keluarga korban perlu menjalin pemahaman yang sama agar peristiwa kelam itu tak lagi terulang di masa depan. “Di kalangan Nahdyiyin, banyak keturunan keluarga PKI yang jadi anggota Banser. Mereka bahkan lebih jago ngaji ketimbang santri,” ujarnya.
RIKY FERDIANTO