TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Wacth (ICW) Tama Satrya Langkun menanggapi hasil temuan Tim Investigasi Majalah Tempo mengenai praktik kolusi antara perusahaan farmasi dan dokter terkait peresepan obat. Sesuai catatan keuangan Interbat yang diperoleh media ini, sebanyak 2.125 dokter dan 151 rumah sakit yang tersebar di lima provinsi diduga menerima uang dan barang dari PT Interbat.
Tama mengatakan penerimaan uang oleh dokter tersebut dapat dikategorikan sebagai gratifikasi apabila memenuhi beberapa unsur yang diatur undang-undang. Ia mengatakan ada beberapa aturan yang mengatur mengenai gratifikasi terhadap dokter.
Baca: EKSKLUSIF: 2.125 Dokter Diduga Terima Suap Obat Rp 131 M
Selain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada pula Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan. "Di dalam Permenkes 14 ini sangat jelas diatur mengenai gratifikasi," kata Tama, Rabu, 4 November 2015.
Misalnya, kata dia, Pasal 1 ayat (3) Permenkes 14 menyebutkan bahwa gratifikasi adalah pemberian uang, barang, rabat atau discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya yang berhubungan dengan jabatan dan kewenangan. Lalu Pasal 1 ayat 4, gratifikasi yang dianggap suap adalah gratifikasi yang diterima oleh aparatur kementerian kesehatan yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan wewenang penerima. (Baca: Suap Obat, KPK: Itu Gratifikasi Jika...)
"Apakah dokter termasuk aparatur Kementerian Kesehatan? Jika termasuk, baik negeri maupun swasta, tentu diatur oleh permenkes ini," kata dia. Tama menambahkan, di dalam Pasal 4 Permenkes 14 ini dijelaskan empat bentuk gratifikasi yang dianggap suap, yaitu marketing fee atau imbalan yang bersifat transaksional yang terkait dengan pemasaran suatu produk; cashback yang diterima instansi yang digunakan untuk kepentingan pribadi.
Lalu, gratifikasi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa, serta pelayanan publik. Terakhir, sponsorship yang terkait dengan pemasaran atau penelitian suatu produk. (Baca: Diduga Suap Ribuan Dokter, Begini Jawaban Interbat)
Adapun di dalam UU Pemberantasan Korupsi, kata dia, penerimaan gratifikasi disyaratkan hanya kepada penyelenggara negara dan pegawai negeri. Meskipun demikian, Tama mengatakan pengertian penyelenggara negara dan pegawai negeri di sini dapat diperdebatkan dalam konteks dokter tersebut.
Baca: EKSKLUSIF, Suap Dokter: Begini Akal-akalan Orang Farmasi
Sebagai contoh, dia menjelaskan, sebelum dokter melaksanakan tugas melayani pasien ataupun membuka tempat praktik, terlebih dahulu harus mendapat izin dokter serta Surat Tanda Registrasi (STR). STR ini diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, yaitu lembaga pemerintah yang berhak mengeluarkan STR.
"Jadi, dokter dapat melaksanakan tugas melayani masyarakat setelah mendapat otoritas dari lembaga negara, dokter termasuk dalam bagian gratifikasi yang diatur di dalam UU Pemberantasan Korupsi," ujar Tama.
Karena itu, dengan konteks tersebut, Tama berpandangan bahwa dokter yang menerima uang dari perusahaan farmasi terkait dengan peresepan obat, harus melaporkannya ke KPK. Jika dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima uang itu tidak melapor ke KPK, dapat dikategorikan suap.
Berita ini merupakan koreksi dari berita terdahulu dengan judul: Gratifikasi Perusahaan Farmasi-Dokter, ICW: Bukan Suap
RUSMAN PARAQBUEQ
Baca juga:
Suap Dokter=40 % Harga Obat: Ditawari Pergi Haji hingga PSK
Ribut Sampah, Ahok Balik Gertak Yusril: Ngotot, Kami Ladeni!