TEMPO.CO, Jakarta -Menjelang Frankfurt Book Fair 2015, komite nasional digempur kritik. Salah satunya mengapa dengan tema besar "17.000 Islands of Imagination" tapi yang muncul belakangan ada tema 1965.
Diskusi soal tema peristiwa 1965 yang digelar di Paviliun Indonesia termasuk salah satu yang cukup ramai. Tak hanya pencinta sastra dan pemerhati politik atau sejarah, diskusi itu juga dihadiri para eksil atau pelarian, hasil nyata dari peristiwa 1965.
Apa yang sebenarnya terjadi? Berikut petikan wawancara Goenawan Mohammad dengan tim dari Koran Tempo, Ali Nur Yasin, Iqbal Muhtarom, dan Anisatul Umah di Yogyakarta, Rabu lalu.
SEBELUMNYA BACA:
Kata Goenawan Mohamad : Frankfurt Book Fair Proyek Sekali Seumur Hidup
Banyak yang menyoroti buku-buku yang ditampilkan lebih banyak tentang peristiwa 1965?
Mereka (FBF) yang memilih buku apa yang diterjemahkan, kita menawarkan sekian buku. Dari 200 buku yang terpilih, tak hanya soal 1965. Sebenarnya yang diminati bukan peristiwa 1965, melainkan Islam di Indonesia. Karena waktu itu juga ada persiapan pengadilan internasional tentang 1965. Itu kan gemanya sampai ke Frankfurt.
Di Frankfurt Book Fair, buku Laksmi Pamuntjak seperti yang ditonjolkan?
Buku Laksmi itu sudah diterjemahkan sebelum tim dibentuk. Novel Laksmi Pamuntjak dipilih sebagai novel luar Jerman yang terbaik. Kita tak bisa kontrol mereka yang memilih. Buku itu dipromosikan secara besar-besaran oleh mereka. Ternyata disambut baik. Itu buku terjemahan yang dicetak paling banyak, 15 ribu eksemplar. Laksmi menulis novelnya dalam bahasa Inggris, kemudian dia terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Nah, yang bahasa Inggris sudah beredar.
Dalam perhelatan FBF ini, paviliun Indonesia banyak menampilkan acara kesenian, padahal ini acara mengenai perbukuan?
Frankfurt Book Fair ini ajang bagi para penerbit buku, bukan festival sastra, bukan festival pengarang. Bodoh sekali kalau menganggap ini sebagai festival pengarang. Pengarang di sana hanya aksesori. Yang dipamerkan buku. Kalau ada pengarangnya, ya syukur. Kalau tidak, ya, tidak apa-apa.
Jadi, acara-acara kesenian itu menjadi salah satu yang mendongkrak?
Di Frankfurt itu ada proyek besar yang disebut Indonesia Lab. Jadi, didatangkanlah, misalnya, enam komposer Indonesia yang kerja sama dengan orkes terkenal di Eropa. Yang lain adalah kuliner, kita mendatangkan 11 chef. Kita bikin paviliun yang bagus sekali hingga semua orang kagum. Itu kerjanya luar biasa. Jadi, biasanya selama ini Indonesia kan hanya membeli. Sejak 2014 mencoba menjual dan ini berhasil.
TIM TEMPO