Jumlah armada kapal Pelra pun kian merosot. Yusuf menyebutkan, tren penurunan itu bisa dilihat dari kunjungan kapal dari tahun ke tahun. Di terminal Kalimas, jumlah kunjungan kapal Pelra mencapai puncaknya pada 2012 sebanyak 646 calls.
“Penurunan mulai terasa sejak 2013 yang hanya 504 calls, lalu 2014 menjadi 475 calls,” katanya sambil menambahkan, “Saat ekonomi lesu begini, saya yakin jumlah kunjungan semakin sedikit.”
Jumlah kapal bahkan diperkirakan tinggal 30 unit, padahal pada awal 2000-an mencapai 50 unit kapal. Sepanjang tahun 2014, kapal kayu yang beraktivitas rata-rata tercatat hanya 30 kapal per bulan. Sedangkan kapal lokal atau kapal besi rata-rata 140-150 pergerakan per bulan.
Pendangkalan adalah masalah utama terminal dengan dermaga sepanjang 2,27 kilometer itu. Terminal Kalimas berada di muara Sungai Kalimas yang mengalami sedimentasi setiap waktu. Kedalamannya kini terukur sekitar dua meter saja dan bahkan lebih dangkal lagi ke arah kota.
Kepala Humas PT Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Perak, Oscar Yogi Yustiano, mengungkapkan kalau PT Pelindo III telah mengalokasikan anggaran Rp 2,9 miliar untuk melakukan pengerukan di Terminal Kalimas pada November 2014 lalu. Pengerukan dilakukan selama 45 hari.
Namun pengerukan itu dinilai hanya belum memberikan dampak berarti. “Yang dikeruk di ujung dekat Jembatan Petekan sana. Nggak ngefek ke sini,” kata pengawas lapangan sebuah perusahaan ekspedisi, Agus Hariyanto.
Pendangkalan di sisi selatan terminal, tepatnya pada dermaga kapal kayu, lebih buruk dibandingkan sisi utara bagian kapal besi. “Kalau di sini paling kedalamannya cuma 1,5 meter. Akhirnya menunggu air pasang yang tidak menentu.”
Pemilik perusahaan ekspedisi PT Marinav, Achmad Vendy Nafiyanto, mengakui, pengembangan pelabuhan rakyat harus disegerakan guna menyelamatkan jalur sungai dari pendangkalan. “Itu mustinya bisa disegerakan untuk dikeruk, pemerintah kota Surabaya dan Pelindo III kan punya kapal keruk. Karena itu yang mendukung pergerakan ekonomi Pelra, walaupun hanya sekadar mengeruk sungai,” katanya.
Vendy membenarkan jika pendangkalan sungai membuat kapal pelra bergantung pada pasang surut air laut. Meski begitu, proses pengiriman barang masih dapat diatur. Sebagai pengguna jasa pelayaran, ia pasti mendapatkan informasi kapan jadwal pasang air laut.
“Misalkan saya mau kirim barang, lalu hari ini sudah ditutup. Tapi ternyata air pasangnya Minggu siang, ya pasti ada pemberitahuan bahwa mereka berangkatnya Minggu siang. Jadi mundur dua hari.”
Namun ketidakpastian pengiriman akibat cuaca dan pendangkalan sungai dianggap masih sebanding dengan tarif pelra yang terjangkau. Dibandingkan tarif di terminal pelayaran modern Pelabuhan Tanjung Perak lainnya, selisih harga di Kalimas mencapai 50 persen.
Pelayaran rakyat pun dapat menjangkau hingga pelosok kawasan Indonesia Timur terpencil sekalipun, tak mengenal apakah dermaganya sudah modern atau tidak. “Meskipun dua minggu baru ada sekali, jangkauannya bisa ke mana-mana, nggak ada tambahan biaya lagi,” kata dia.
Baca juga:
Wah, Mourinho Tak Jamin Chelsea Masuk 4 Besar, Akan Dipecat?
Jose Mourinho Terpuruk Gara-gara Wanita Cantik Ini?
Sayangnya, pelra belum optimal dalam hal penjaminan barang yang hilang maupun rusak. Alumnus Teknik Perkapalan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu pernah mengalaminya. Kala itu ia mengirimkan kapal speed boat ke Tarakan, Kalimantan Utara.