TEMPO.CO, Bandung - Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengatakan, kabut di beberapa kota di Jawa hasil campuran asap kebakaran hutan di Jawa dan polusi udara. Kabut itu akhir pekan lalu sejak Jumat hingga Ahad, terpantau di Jakarta, Bandung, dan Semarang. "Pada Jumat, 23 Oktober lalu cenderung lebih tebal, sekarang menipis," katanya kepada Tempo, Senin, 26 Oktober 2015.
Thomas membandingkan data citra satelit luar dan dalam negeri soal sebaran asap. Hasilnya menunjukkan adanya awan tipis di Pulau Jawa bagian barat pada 23-25 Oktober, dan makin menipis pada Senin, 26 Oktober 2015. "Polanya hampir sama, sumber kabut asap berasal dari Jawa sendiri," ujarnya.
Sumber lain kabut itu polusi udara hasil emisi kendaraan dan cerobong pabrik, serta pembakaran sisa pertanian yang tersebar. Gas karbondioksida itu tertiup angin dari arah timur-tenggara atau Samudera Hindia, lalu bertemu dengan angin dari Laut Jawa (konvergensi). "Jadi asap seperti dikumpulkan ke arah Pulau Jawa, biasanya diarahkan ke laut sehingga tidak berdampak ke daratan," ujarnya.
Daerah pertemuan kedua angin tersebut, berada di bagian tengah Jawa Tengah, serta bagian tengah dan selatan Jawa Barat. Sebelumnya diberitakan, sejumlah peneliti dari ITB dan BMKG mengatakan kabut pagi hingga siang Jumat pekan lalu akibat asap kebakaran hutan di Jawa Timur, proses alami, atau kabut dari polusi udara.
Data dari BMKG menyebutkan, titik api di Pulau Jawa tercatat ada 28 titik. Hampir semuanya berada di wilayah Jawa Timur. Hutan Gunung Ijen dilaporkan terbakar, begitu pula Gunung Penanggungan, Lawu, dan Semeru.
Dibanding Jakarta dan Semarang, Bandung dengan kondisi wilayah berbentuk cekungan atau baskom, mempengaruhi dinamika atmosfer. Kabut asap dan polutan sulit terbuang keluar. Kabut tersebut, kata Thomas, berada di ketinggian 3.000 meter dari permukaan. "Pada malam hari, kabut relatif dekat dengan permukaan," ujarnya.
Thomas mengatakan, kondisi tersebut belum menandakan masuknya musim hujan yang didahului musim pancaroba. Musim peralihan dari kemarau itu ditandai dengan bertiupnya angin dari utara ke selatan. "Sekarang belum terjadi, pola hujan mulai dari Sumatera pada November, lalu Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Papua sekitar Desember," ujarnya.
ANWAR SISWADI