TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Konfederasi Solidaritas Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo kejam dalam mengatur sistem pengupahan terhadap buruh di Indonesia.
“Dari tahun 1982, zamannya Orde Baru Presiden Soeharto, serikat buruh dilibatkan melalui dewan pengupahan. Pemerintahan Jokowi-JK lebih kejam dari pemerintahan Orde Baru dalam kebijakan upah,” kata Iqbal dalam konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pada Senin, 26 Oktober 2015.
Iqbal dengan tegas menolak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 terkait dengan sistem pengupahan buruh di Indonesia. Ia beralasan pemerintah tidak melibatkan serikat buruh dalam perundingan sistem pengupahan.
Selain itu, formula yang digunakan sebagai penentu upah, yaitu tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi dianggap merugikan. Sebab, hanya didasarkan pada data nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS), bukan pada kondisi di tiap daerah dan indeks risiko di masa mendatang.
Meski pemerintah menyebut peran buruh tetap dilibatkan dalam tim peninjauan kebutuhan hidup layak (KHL) lima tahun sekali, serikat buruh tetap menolak karena KHL tidak termasuk dalam formula penentuan upah. Penolakan tersebut, kata Iqbal, akan diwujudkan dalam Komite Aksi Upah yang akan menggelar protes besar-besaran kepada pemerintah. Komite tersebut akan bekerja hingga formula penentuan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi dihilangkan. “Kami ingin dikembalikan perundingan kepada serikat buruh, asosiasi pengusaha, dan pemerintah,” ujarnya.
Penolakan itu juga dilakukan karena ada keserakahan dari pengusaha, khususnya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Iqbal menilai Apindo diuntungkan dengan adanya paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintahan sekarang.
“Mereka sudah dapat semua, dari mulai jilid satu sampai lima dari paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah. Kerakusan dan keserakahan pengusaha membuat mereka meminta juga upah buruh dikembalikan kepada rezim upah murah karena tidak ada hak berunding,” kata Iqbal.
Alasan lain yang disampaikan Iqbal adalah upah dasar buruh di Indonesia rendah. Sementara, upah dasar tersebut nantinya akan digunakan untuk menghitung kenaikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. “Ambillah Jakarta, Rp 2,7 juta, upah dasarnya itu rendah. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah Rp 3,2 juta untuk tenaga kerja Indonesia atau Filipina Rp 3,6 juta,” ucap Iqbal.
Iqbal meminta pemerintah menaikkan upah dasar menjadi Rp 3,7 juta secara nasional. Ia meminta agar menyamakan terlebih dahulu secara nasional upah dasar tersebut. Serikat buruh meminta angka tersebut karena ada 84 item kebutuhan hidup layak. Setelah itu, baru mendiskusikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Jargon pemerintah yang menyatakan ada kepastian upah, kami setuju kepastian, tapi yang menyejahterakan bukan kepastian yang mengeliminasi tingkat kesejahteraan. Kami serius, risiko apapun akan kami ambil sepanjang buruh, masyarakat miskin, dimarjinalkan kembali ke upah murah,” ujar Iqbal.
DANANG FIRMANTO