TEMPO.CO, Sleman - Ahli hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, Hari Supriono, menyatakan kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan ini sudah menjadi bencana nasional, bukan lagi bencana alam.
Dari sisi hukum, katanya, harus ada penghapusan salah satu pasal dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup karena sudah tidak relevan.
"Lahan sawit secara nasional sudah mencapai 20 juta hektare itu sudah cukup, sekarang harus setop penambahan lahan itu," kata Hari saat ditemui di Java & Japan Classic Festival di Griya Taman Cemara, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Ahad, 25 Oktober 2015. Malaysia hanya 14 juta hektare sawit, ujarnya. Tapi, hasilnya melebihi Indonesia.
Pembakaran lahan yang dilindungi oleh undang-undang tersebut berakibat fatal. Pasal 69 ayat dua undang-undang itu menyebutkan, demi mengedepankan kearifan lokal, masyarakat lokal diperbolehkan membakar lahan yang luasnya di bawah dua hektare. Bahkan, muncul peraturan daerah yang mengatur pembakaran lahan hingga 50 hektare.
"Dengan pasal itu, para pengusaha kelapa sawit berlindung," kata Hadi. Soal kearifan lokal suatu daerah memang harus tetap bisa diakomodasik. Tapi, harus dengan pengawalan ketat. Sebab, bisa saja kepala suku atau kepala adat dimanfaatkan oleh para pengusaha.
Hadi mengatakan, dalam prakteknya, pengusaha besar mengatasnamakan masyarakat lokal untuk pembakaran lahan yang memang efektif untuk membuka lahan.
Dia mendorong masyarakat adat terus menjaga hutan sesuai dengan kearifan lokalnya. "Jangan sampai mereka justru dimanfaatkan para pengusaha," katanya.
MUH SYAIFULLAH