TEMPO.CO, Lamongan - Mantan kombatan Afghanistan, Moro dan Ambon, Ali Fauzi, 45 tahun, menyatakan pemerintah tidak memberikan perhatian kepada anak-anak dan keluarga dari orang-orang yang dituding sebagai teroris. Akibatnya, mereka cenderung meneruskan perjuangan pendahulunya. ”Faktanya begitu,” ujarnya pada Tempo, Sabtu, 24 Oktober 2015.
Seperti diketahui, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones memastikan bahwa Umar Jundulhaq, 19 tahun, putra pelaku bom bunuh diri di Bali, Imam Samudera tewas dalam sebuah pertempuran di Kota Deir ez-Zur, Suriah pada 14 Oktober 2015 lalu.
Umar menurut Sidney Jones adalah satu dari 50 waga negara Indonesia yang tewas dalam pertempuan di Suriah sejak Maret lalu, baik dengan pasukan Kurdi maupun dengan pasukan Presiden Suriah Bashar Al Assad. Ada juga yang tewas akibat serangan bom udara dari pasukan koalisi.
Tercatat lima orang yang tewas karena bom bunuh diri. Sidney menyebutkan masih ada sekitar 300an warga negara Indonesia yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS tetapi 40 persen di antaranya perempuan dan anak-anak dan ikut dengan suaminya.
Menurut Ali, yang kini menjadi pengamat teroris di Tanah Air ini, saat ini ada sekitar 700 orang yang ditahan sebagai teroris. Dan tentu saja, mereka itu punya anak-anak, keluarga dan juga perkawanan yang kuat. "Mereka satu sama lainnya bisa saling mengenal, karena sama-sama punya dasar yang sama, terkait bermasyarakat dan bernegara," kata Ali.
Ali mengakui sebagian besar dari para keluarga dan orang-orang yang dituduh sebagai teroris itu adalah teman-temannya. Bahkan mereka ini, sejalan saat masih berada di Afghanistan, Moro, Poso dan Ambon. "Mereka ini, punya kelebihan dalam bidang peperangan. Misalnya merakit bom, menggunakan senjata dan lainnya. Intinya, jika kelebihan mereka dimanfaatkan untuk kegiatan positif, tentu akan berdampak baik," kata dia.
Sayangnya, kata Ali, pemerintah kurang memperhatikan hal-hal tersebut. Akibatnya, cap negatiif yang sudah kadung melekat di keluarga mereka, berdampak kurang bagus. Disinilah, menurut Ali, pemerintah diminta untuk bisa lebih bijak, dengan memberikan celah dan juga pembinaan. "Karena, dengan mendekati anak-anak dan keluarganya, tentu saja mengurangi kasus-kasus yang berkaitan dengan terorisme di Tanah Air," ujar Ali.
Kasus bergabungnya Umar Jundulhaq dengan kelompok-kelompok militan di Timur Tengah, menurut Ali, adalah bukti bahwa pemerintah kurang mengakomodasi keluarga teroris. Padahal, ujar Ali, jika saja pemerintah mendekati keluarga almarhum Imam Samudra di Banten, tentu tidak seperti ini.
“Ya, saya cukup dekat dengan keluarga almarhum Imam Samudra,” tandas pria yang kini lebih memposisikan diri sebagai pihak yang mendukung pemerintah mengurangi gerakan teroris di Tanah Air ini.
Ali juga mengatakan, sekarang ini masih ada anak-anak dan keluarga di Tanah Air yang bergerak bergabung di organisasi militan di Timur Tengah. Termasuk di antaranya di daerah Lamongan, Jawa Timur. Menurut Ali, kunci untuk mengurangi aktivitas seperti itu adalah pemerintah harus terus menerus melakukan pendekatan secara manusiawi.
"Jangan bersikap keras dan bertindak di luar kewajaran. Karena dengan menghukum mereka dengan tindakan keras, sama saja ini membuat masalah baru. Justru dengan memberikan program pembinaan, dialog dan sejenisnya, bisa membuat mereka sadar," kata Ali.
Ali mencontohkan, ia pernah menggelar acara seminar tentang keberadaan terorisme di Tanah Air, yang digelar di Tanjung Kodok, Paciran, Lamongan dua tahun silam. Acara tersebut, mengundang mantan kombatan dari Afghanistan, Moro dan Poso.
Acara itu juga dihadiri pihak Kepolisian Resort Lamongan dan Komando Distrik Militer Lamongan, serta pendidik dari perguruan tinggi. Di acara tersebut, para mantan kombatan ini, juga menceriterakan pengalamannya saat berjuang memanggul senjata dan merakit bom. “Diskusinya cair ketika itu,” kata Ali.
SUJATMIKO