TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Kehutanan Nasional Hariadi Kartodihardjo mengungkapkan titik rawan transaksi biaya tinggi bisa diketahui dalam tahapan perusahaan mendapatkan izin.
“Kalau dijumlah uangnya antara Rp 680 juta – 22 miliar per perusahaan per tahun, tergantung dia sedang apa. Kalau dia memperpanjang izin perlu rekomendasi-rekomendasi pasti mahal, tapi kalau dia tidak sedang apa-apa, tahap awal bayar paling tidak Rp 680 juta,” kata Hariadi dalam diskusi kebakaran hutan dan lahan oleh United Nations Development Program (UNDP) di Jakarta pada Sabtu, 24 Oktober 2015.
Seperti dicontohkan Guru Besar Institut Pertanian Bogor, pada tahap pengurusan izin perusahaan bisa membayar Rp 25 juta untuk mendapat peta dan komitmen izin. Dalam negosiasi, ada biaya hingga Rp 200 juta agar luas izin dapat diatur. Bahkan masih terdapat biaya untuk melancarkan proses administrasi sampai pada penataan batas area izin bisa dibebankan biaya tambahan hingga Rp 300 juta.
Hariadi menyebut pascakemerdekaan Indonesia sejak tahun 1963, izin eksploitasi hutan tidak sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Sebab sumber daya alam yang pemanfaatannya seharusnya dikuasai negara, diserahkan pada mekanisme pasar. Akibatnya menjadi ajang perebutan para pemilik modal.
Mahalnya pengurusan dan pelaksanaan perizinan, kata Hariadi, menyebabkan legalitas hanya terbatas disediakan bagi perusahaan besar. Sebab masyarakat lokal tidak mampu membayar. Dalam kaitan penyelesaian konflik penggunaan kawasan hutan, yang berhak memanfaatkan sumber daya alam adalah yang mampu menunjukkan bukti legalitas meski harus membayar biaya tinggi. Oleh karena itu sepuluh tahun terakhir, Hariadi menyebut komposisi pemanfaatan hutan tidak berubah. “Angka 97 persen untuk usaha besar dan 3 persen untuk usaha kecil,” kata dia.
Di daerah Riau dan Jambi, kata Hariadi, perusahaan besar sudah mempunyai perangkat untuk menghadapi pihak-pihak sehingga memudahkan proses perizinan. Biaya yang dibebankan antara Rp 38-41 juta per hektare.
Hariadi menilai ada ketidakadilan yaitu perusahaan besar disetarakan dengan perusahaan kecil dalam proses perizinan. "Dampaknya ada persoalan-persoalan pelayanan publik yang tidak mungkin bisa dilakukan perusahaan kecil yang tidak kuat bayar izin," ujar Hariadi.
DANANG FIRMANTO