TEMPO.CO, Kediri – Warga di Desa Doko, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri ini mempersembahkan minuman keras kepada leluhur mereka. Warga meyakini jika leluhur desa itu menyukai minuman keras semasa hidupnya dulu.
Ritual unik ini dilakukan ribuan warga di Desa Doko dalam Kirab Sesaji Gunungan Hasil Bumi yang dilakukan di desa mereka, Jumat 24 Oktober 2015. Berbeda dengan ritual penyerahan sesaji yang umum dilakukan masyarakat di berbagai daerah, warga Desa Doko justru mempersembahkan minuman keras merek mahal kepada leluhur. Minuman yang dituang ke dalam guci cantik itu diletakkan di atas pusara Prabu Anom yang dipercaya menjadi sesepuh desa.
Dipimpin tetua desa, warga berbondong-bondong mengusung hasil bumi untuk diarak menuju pusara Prabu Anom. Aneka makanan tradisional itu terdiri atas nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk, buah-buahan, dan palawija. Setelah diarak keliling desa, makanan itu diletakkan tepat di atas pusara Prabu Anom. Begitu pula dengan beberapa guci minuman keras dan air tape yang turut diletakkan di samping makanan sebagai sesembahan.
Usai melakukan doa, warga merangsek ke depan untuk berebut aneka makanan itu. Berhasil mendapatkan makanan dan menyantapnya adalah bentuk berkah yang diterima dari Sang Prabu. Meski saling sikut dan tendang, tak ada amarah dari warga yang memperebutkan makanan itu. Mereka pun juga tak serakah mengambil makanan terlalu banyak agar bisa dinikmati warga lainnya.
Mulyadi Wignyo, salah satu panitia kirab mengatakan tradisi ini sudah dilakukan turun temurun setiap bulan Suro. Warga di desanya meyakini akan mendapat petaka dan bencana jika tak melakukan ritual itu. Karena itu tanpa diminta mereka rela menyerahkan sebagian hasil buminya untuk sesembahan kepada Prabu Anom. “Termasuk minuman keras yang menjadi kesukaan Prabu Anom,” katanya.
Sementara bagi warga yang mendapatkan makanan dari gunungan tumpeng yang sudah disajikan kepada Prabu Anom percaya akan mendapat berkah dan kesehatan. Karena itu mereka sangat menantikan sesi itu di setiap pelaksanaan ritual.
Sebagai penutup, prosesi tersebut diakhiri dengan menggelar tarian tayub, yang juga menjadi kesukaan Prabu Anom semasa hidup. Kesenian tradisional ini telah hidup sejak turun temurun dan terus dilestarikan meski belakangan mulai redup. “Tarian ini pada zaman dulu diramaikan dengan penonton pria yang mabuk,” kata Setiawan, salah satu warga.
Namun seiring perkembangan waktu, tarian ini kerap menuai kecaman dari berbagai kalangan. Ini lantaran munculnya kisah-kisah penari nakal dan penonton mabuk yang mempertontonkan gerakan tak senonoh selama proses tarian. Untuk melestarikannya, masyarakat mulai meninggalkan kegiatan mabuk yang menjadi ciri khas pertunjukan ini.
HARI TRI WASONO
Baca juga:
Dewie Limpo Terjerat Suap: Inilah Sederet Fakta Mengejutkan
Ribut Risma Tersangka: 5 Hal Ini Mungkin Anda Belum Tahu