TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi memprotes pernyataan Panglima TNI tentang tembakau. Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut Konvensi Pengendalian Tembakau atau FTCT (Framework Convention on Tobacco Control) sebagai ancaman nasional atau ancaman negara.
Pernyataan itu disampaikan Panglima TNI saat menjadi pembicara seminar yang diselenggarakan Kamar Dagang dan Industri, beberapa hari yang lalu. Panglima TNI menganggap FCTC sebagai proxy war.
YLKI, kata Tulus, melihat pernyataan itu sebagai hal yang absurd. Tulus menilai Gatot berbicara sesuatu di luar kapasitas sebagai Panglima TNI. “Banyak masalah pertahanan dan keamanan yang jauh lebih mengancam yang seharusnya lebih urgen disikapi,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 23 Oktober 2015.
Tulus menyesalkan sikap Panglima TNI, yang seharusnya bersikap dan bertindak strategis, dalam menyikapi FCTC terlihat sangat gegabah dan tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan Panglima TNI hanya menerima masukan dari satu arah, yakni pihak yang berkepentingan langsung dengan industri rokok. “Pola pikir semacam inilah yang justru sangat membahayakan kepentingan nasional,” tuturnya.
Panglima TNI, kata Tulus, tidak melihat kasus FCTC dalam konteks yang lebih luas, baik dalam perspektif hukum internasional maupun dinamika politik internasional. Saat ini FCTC sudah diratifikasi oleh lebih dari 181 negara di dunia.
Menurut dia, hanya Indonesia dan beberapa negara kecil di Afrika yang tidak menandatangani dan belum meratifikasi/mengaksesi FCTC. Justru kondisi inilah yang seharusnya membuat Panglima TNI merasa malu.
Nihilnya Indonesia dengan FCTC dan mengakibatkan mengguritanya industri rokok di semua lini justru menjadi fenomena yang sangat membahayakan kepentingan negara. Apalagi saat ini semua industri rokok kretek nasional telah dimiliki asing.
Secara historis, kata Tulus, yang menginisiasi lahirnya FCTC justru negara-negara berkembang, seperti India, Brasil, Bangladesh, termasuk Indonesia. Negara-negara maju awalnya menolak FCFC karena khawatir akan meruntuhkan industri rokok di negarnya. “Jadi, sangat tidak masuk akal jika kita meratifikasi FCTC akan terjebak pada proxy war seperti yang diklaim Panglima TNI,” tuturnya.
AGUSSUP