TEMPO.CO, Semarang - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang bersama sejumlah organisasi lintas profesi mengadukan penyitaan Majalah Lentera Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ke Komnas HAM. Mereka menganggap penyitaan majalah tersebut melanggar hak asasi manusia.
“Upaya sejumlah pihak menarik peredaran majalah Lentera edisi 3 Tahun 2015 berjudul `Salatiga Kota Merah`, serta interogasi sejumlah awak Lembaga Pers Mahasiswa Lentera oleh aparat Kepolisian Resor Salatiga masuk dalam pelanggaran hak asasi manusia,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, Muhammad Rofiuddin, Kamis 22 Oktober 2015.
Kelompok yang melapor ke Komnas HAM antara lain Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), AJI Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Social Blogger, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, dan Yayasan TIFA.
Rofiuddin mengatakan, pasal 28F Undang-undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Selain itu, para pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera melanggar Pasal 28C Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin hak setiap warga negara mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
“Selain inkonstitusional, pelarangan peredaran Majalah Lentera juga melanggar berbagai jaminan hak asasi manusia dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” kata Rofiuddin.
Rofiuddin mendesak Komnas HAM melakukan berbagai upaya, seperti penghentian upaya penarikan peredaran Majalah Lentera, pengembalian peredaran seluruh majalah yang telah ditarik berbagai pihak agar bisa diperoleh publik, penghentian segala bentuk intimidasi dan stigmatisasi kepada mahasiswa dan jurnalis yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera.
Selain itu, juga harus dipastikan para mahasiswa dan jurnalis Lentera tidak dikenai sanksi ataupun tuntutan hukum apapun dari Rektorat UKSW dan jajarannya, Kepolisian Republik Indonesia dan jajarannya, Tentara Nasional Indonesia dan jajarannya -- baik pada masa sekarang ataupun pada masa yang akan datang.
“Selain itu, LPM Lentera dapat melanjutkan aktivitasnya sebagai unit kegiatan mahasiswa yang resmi, bebas dari praktek sensor dan breidel dari pihak mana pun,” katanya.
ARIS ANDRIANTO