TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai mengatakan kasus perbudakan di Benjina berpotensi ditutup. Dalam kasus Benjina, kata dia, LPSK diminta menghadirkan korban dan saksi untuk kesaksian kasus human trafficking beberapa waktu lalu.
Menurut Semendawai, masalahnya karena mayoritas saksi tersebut adalah warga negara Myanmar. "Mereka semua juga sudah pulang ketika kami harus menghadirkan," katanya seusai diskusi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, di Jakarta, Rabu, 21 Oktober 2015.
LPSK, kata Semendawai, diminta menghadirkan saksi minimal 10 orang. Tapi hal ini terhambat biaya. "Mereka perlu biaya dari Myanmar ke Jakarta, lalu ke lokasi persidangan. Karena masalah anggaran ini, kasusnya bisa saja ditutup," ujarnya.
Sebelumnya, ia mendapat informasi dari kejaksaan bahwa perkara ini sudah P21 dan siap disidangkan. "Kabarnya, persidangan Oktober, tapi belum jelas," ucapnya.
Masalah kedua adalah lokasi persidangan di Ambon, Maluku, atau di Jakarta. Namun pengadilan, dengan berbagai alasan, tidak memindahan lokasinya. "Secara teritori memang pengadilan dilakukan di sana, ini yang menjadi persoalan," tuturnya.
Semendawai menyarankan agar persidangan bisa dilakukan di Jakarta. Menurut dia, hal ini tidak memberatkan anggaran serta perlindungan oleh LPSK bisa lebih aman. "Di Jakarta lebih aman karena ada rumah aman LPSK," katanya.
Sebelumnya, April lalu, terbongkar kasus perbudakan dan human traffiking oleh PT Pusaka Benjina di Ambon, Maluku. Saat itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta Kepolisian RI mengusut tuntas perbudakan kapal dan kejahatan korporasi tersebut.
ARKHELAUS WISNU