TEMPO.CO, Bandung - Ribuan orang dari sebelas organisasi pekerja dan buruh, yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Barat, berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, menolak Rancangan Peraturan Pemerintah yang mengubah penghitungan pengupahan. “Kami menilai tidak ada satu pun dari pasalnya berpihak pada kepentingan buruh,” kata Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa Barat Iyan Sofyan di sela-sela aksi itu, Selasa, 20 Oktober 2015.
Iyan mengatakan aksi itu sengaja digelar untuk meminta gubernur menolak pemberlakuan RPP Pengupahan untuk penghitungan upah minimum tahun depan. Dia beralasan, proses penghitungan upah minimum sedang berlangsung. “Kalau RPP diberlakukan, beberapa proses yang sudah dilakukan tidak ada artinya,” kata dia.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jawa Barat Roy Jinto mengatakan RPP Pengupahan itu kabarnya sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dan diumumkan oleh Menteri Perekonomian Darmin Nasution pada 15 Oktober 2015. Dia mengklaim RPP itu bertentangan dengan pasal pengupahan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. “Penetapan upah harus berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan, ternyata PP ini cukup mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Itu rata-rata hanya 10 persen,” kata dia di sela-sela aksi itu.
Pemimpin organisasi lain, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Jawa Barat Ajat Sudrajat mengatakan RPP tersebut mengebiri hak pekerja untuk ikut menentukan upah lewat Dewan Pengupahan. “Dalam RPP baru, kewenangan Dewan Pengupahan hilang. Parameter pengupahan dihitung lima tahun sekali, survei dilakukan lembaga independen. Penetapan sudah dirumuskan ada formulasinya. Fungsi Dewan Pengupahan ngapain?” kata dia.
Ajat mengatakan Dewan Pengupahan menjadi lembaga fundamental dalam penetapan pengupahan, selain ruang yang tersedia untuk menampung aspirasi pekerja dalam penentuan upah. “Kalau RPP ini dipaksakan, akan mengebiri hak berdemokrasi, hak berunding teman-teman di Dewan Pengupahan,” kata dia.
Menurut Ajat, sementara ini, proses pengupahan sudah di tengah jalan. Sebagian sudah menyelesaikan survei KHL (Komponen Hidup Layak). “Ada yang naik sampai 12 persen hingga 13 persen, itu baru KHL,” kata dia.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sabillah Rosyad menuding RPP itu memiskinkan buruh. Jika ekonomi membaik, kenaikan upah buruh tidak signifikan. “Saat ini, inflasi sudah 7 persen. Keran ekonomi turun. Kalau sudah baik, inflasi tidak lebih dari 5 persen,” kata dia.
Ada lima faktor penentu upah minimum, yakni survei KHL, inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, upah daerah sekitar, serta ketersediaan lapangan kerja. RPP Pengupahan hanya memperhitungkan dua indikator saja, yaitu inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi. “Faktor yang terbesar itu survey KHL,” kata Rosyad.
Rosyad mencontohkan, komponen kontrak rumah yang paling signifikan, disusul transportasi, tarif listrik, dan PDAM. “Kalau ini tidak dihitung, KHL dihilangkan, sementara kontrakan tiap tahun naik, transportasi naik. Itu hanya dijawab 5 persen (nilai inflasi),” kata dia.
Kemarin, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan masih menunggu RPP Pengupahan tersebut. “Kita tunggu keputusan PP seperti apa,” kata dia, Senin, 19 Oktober 2015.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hening Widiatmoko meminta melayangkan keeratan soal RPP itu pada pemerintah pusat. “Regulasi itu yang membentuk dan menyusun di Jakarta, kita hanya melaksanakan. Kalau keberatan atau menolak, lebih tepat dilayangkan ke kementerian karena kami di daerah pun masih menunggu bentuknya seperti apa,” kata dia, Senin, 19 Oktober 2015.
Hening mengatakan, pemerintah daerah lebih siap jika sistem baru pengupahan itu digunakan tahun depan. “Ini jadi bola panas di daerah karena ini akan mengubah banyak hal,” kata dia.
Dia mencontohkan, mayoritas kabupaten/kota tengah dalam proses finalisasi rekomendasi penetapan upah minimum. “Rekomendasi bupati/wali kota itu paling lambat sudah harus diterima 6 November 2015, 14 November diproses di Dewan Pengupahan Provinsi, dan 21 November ditetapkan. Sekarang sudah tanggal 19 Oktober 2015,” kata Hening.
Saat ini, misalnya, seluruh daerah sudah menyelesaikan survei KHL yang menjadi dasar penetapan upah minimum. “Beberapa provinsi bahkan sudah punya angka UMP (Upah Minimum Provinsi) karena per 1 November harus sudah ditetapkan,” kata Hening.
Menurut Hening, informasi sementara sistem baru itu, penghitungan upah bukan berbasis survei KHL, tapi UMK tahun berjalan dikalikan penjumlahan Inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. “Daerah sedang menunggu kejelasannya seperti apa? Kabupaten/kota sudah selesai surveinya, bahkan ada yang sudah menetapkan nilai KHL yang praktis nggak akan dipakai,” kata dia.
Hening mengatakan Menteri Dalam Negeri juga sudah menerbitkan surat edaran pada semua gubernur yang meminta jika RPP sistem pengupahan disahkan, dapat digunakan dalam penghitungan upah minimum tahun 2016. “Surat edaran Menteri Dalam Negeri itu terbit 12 Oktober 2015. Ibarat makanan, kita mau ngunyah yang mana, mau ditelan langsung begitu?” kata dia.
AHMAD FIKRI