TEMPO.CO, YOGYAKARTA – Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X meminta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat menghentikan sementara investasi perhotelan di wilayah DIY. Alasannya, pembangunan hotel sangat banyak sehingga memicu perang tarif di antara pengusaha hotel.
“Investasi (perhotelan) di Yogyakarta tidak kondusif, pemilik hotel memainkan harga,” kata Sultan saat ditemui di Kepatihan Yogyakarta, Selasa, 20 Oktober 2015.
Sultan menyarankan agar investasi perhotelan dapat ditempatkan di luar Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman yang sudah sesak, seperti Bantul dan Kulon Progo. "Itu bergantung pada keinginan investor," katanya.
Kewenangan membatasi masuknya investor perhotelan berada di BKPM Pusat. Sedangkan kabupaten dan kota hanya sebatas memberikan izin, antara lain izin mendirikan bangunan (IMB). “Untuk pembangunan hotel itu kewenangan pusat. Kalau hanya wisma, itu kewenangan kabupaten/kota,” katanya.
Selama ini investasi perhotelan oleh investor dari luar Yogyakarta tidak ikut serta menambah pendapatan daerah. "Perputaran uang tidak kembali ke Yogyakarta, melainkan dibawa ke luar Yogyakarta," katanya.
Aktivis yang acap kali mengkritik pembangunan hotel, Elanto Wijoyono, menyesalkan pernyataan Sultan yang dinilai terlambat. Semestinya kebijakan Sultan disampaikan pada tahap pembahasan perencanaan pembangunan. Namun, setelah ada dampak yang ditimbulkan akibat pembangunan hotel, barulah Sultan bersikap.
“Pernyataan Sultan itu tidak banyak mengubah apa pun,” kata Elanto, yang dikenal karena menghadang motor gede di kawasan Sleman. Apalagi, ujar dia, jumlah investor yang masuk ke DIY sangat banyak. Bahkan ada satu grup investor yang menguasai beberapa usaha properti. “Publik tidak tahu siapa saja investor di setiap bangunan hotel.”
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik DIY, jumlah penginapan di DIY pada 2013 sebanyak 1.100 unit. Meliputi 100 unit hotel berbintang dan 1.000 hotel nonbintang. Sedangkan 400 unit berada di Kota Yogyakarta.
PITO AGUSTIN RUDIANA