TEMPO.CO, Sleman - Salah seorang penumpang helikopter tipe EC 130 yang jatuh di Danau Toba, Sumatera Utara, Fransiskus Susbihardayan, menceritakan detik-detik menjelang kecelakaan pada 11 Oktober lalu. Selama tiga hari dia berusaha menyelamatkan diri dengan menggunakan pelampung dan jok helikopter. Berikut penuturan alumni SMK Penerbangan AAG Adisutjiptp kepada Tempo di rumahnya di Kalasan, Sleman, Yogyakarta, Senin19 Oktober 2015.
Hari itu, 11 Oktober 2015, saya menumpang helikopter dari Samosir tujuan Medan bersama paman saya, Sugianto. Saya duduk dibaris belakang. Sekitar pukul 11.30 helikopter take off untuk menempuh perjalanan selama satu jam tiga puluh menit menuju ibukota Sumatera Utara.
Baru lima menit mengudara, tiba-tiba kabut menghadang dan menutup jarak pandang. Saat itu posisi helikopter sekitar 3.000 kaki di atas permukaan laut. Saya merasakan helikopter sempat berbelok ke kiri dua kali sebelum oleng dan jatuh menabrak air.
Ketika terjatuh, saya dan lima penumpang lainnya dalam keadaan selamat. Kami semua menggunakan pelampung dan jok helikopter untuk menyelamatkan diri.
Saya dan kelima penumpang berenang untuk mencari pertolongan. Beberapa jam penumpang lain terpisah. Saya masih berusaha berenang bersama paman saya, Sugianto. Sehari semalam, saya terkatung-katung bersama paman.
Pada hari kedua, saya berpisah dengan paman karena terhempas ombak dan hujan. Saya bertahan dengan memanfaatkan eceng gondok di danau dan meminum air sebelum diselamatkan Tim SAR padahari ketiga.
Ketika diselamatkan Tim SAR saya dalam kondisi tidak sadar. Yang saya ingat, saya sudah berada di perahu karet dan langsung dilarikan ke rumah sakit di Samosir.
Tak lama kemudian saya diterbangkan ke Rumah Sakit Bhayangkara di Medan. Minggu, 18 Oktober 2015, saya tiba di rumah di Kalasan, Sleman.
ANISSATUL UMAH | ANY