TEMPO.CO , Jakarta: Organisasi kemasyarakatan tunanetra tingkat nasional, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), mendirikan pusat layanan low vision (lemah penglihatan) untuk pertama kalinya di Kota Yogyakarta. Pusat layanan ini didirikan di atas lahan seluas 250 meter persegi, terletak di Jalan Ontorejo Wirobrajan, Kota Yogyakarta, dan diresmikan pada Senin, 19 Oktober 2015.
Koordinator penanggung jawab kegiatan sekaligus Bendahara Umum Pertuni Pusat, Yanto Pranoto, menuturkan pusat layanan ini bukan klinik, melainkan pusat layanan terpadu. Layanan Pertuni untuk penderita low vision merupakan program lanjutan atas layanan yang pernah dirintis di Yogyakarta sejak 2004.
"Pusat layanan ini menjadi penyempurnaan program terdahulu dengan standar internasional dan peralatan serta layanan lebih memadai," ujar Yanto saat dihubungi Tempo, Ahad, 18 Oktober 2015.
Yanto menuturkan rintisan program awal sempat kesulitan bergerak karena keterbatasan anggaran sehingga untuk beberapa waktu, pelayanan dialihkan ke Rumah Sakit Umum Pusat dr Sardjito Yogyakarta.
Dengan wajah baru ini, Pertuni memperkuat kelembagaan dengan menyediakan layanan yang diklaim lebih lengkap dari rumah sakit.
"Tak hanya pemeriksaan mata, ada juga layanan alat bantu, pendampingan, konseling penderita, dan training pendamping kasus low vision," ujar Yanto.
Jika di rumah sakit penderita low vision hanya mendapat analisis pemeriksaan dan direkomendasikan mencari alat bantu, di sentra ini, penderita bisa langsung mendapat alat bantu sesuai dengan kebutuhannya.
"Untuk bayi dan anak-anak sekolah penderita low vision, juga dilakukan pendampingan serta training bagi orang tua," ujarnya.
Penderita low vision di wilayah DIY dan Jawa Tengah, yang jumlahnya mencapai 1.500 orang itu, menurut Yanto, selama ini mendapat perlakuan seragam. Padahal kasus tiap penderita berbeda.
"Misalnya dalam ujian sekolah ada beberapa siswa penderita low vision, tapi pembesaran naskah soal ujian kerap disamakan. Ini mempersulit anak," ujarnya.
Pusat layanan ini pun, menurut Yanto, menyediakan ratusan unit berbagai alat bantu sesuai dengan umur penderita dan kasusnya, mulai dari bayi hingga dewasa. Seluruh peralatan merupakan barang impor Italia karena dalam negeri belum diproduksi.
"Untuk pembiayaan layanan, kami bekerja sama dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan agar tak memberatkan masyarakat, tapi juga tak menganggu operasional layanan," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO