TEMPO.CO, Yogyakarta - Kasus penggusuran biasanya melibatkan pengusaha dan penduduk, tapi rencana penggusuran penduduk di pantai Parangtritis, Daerah Istimewa Yogyakarta malah menghadapkan akademisi dengan penduduk. Proyek ini akan mewujudkan Parangtritis Geomaritime Science Park.
Toh penanganan penggusuran pun kurang lebih sama dengan praktek penggusuran yang dilakukan pengusaha dengan dukungan pemerintah. Langkah pertama rencananya akan dilakukan sosialisasi pada Sabtu malam 17 Oktober 2015. “Kami akan menyosialisasikan penentuan zona inti gumuk pasir dan pemasangan patok pembatasnya di Balai Desa Parangtritis,” kata Koordinator Parangtritis Geomaritime Science Park, Retno Wulan, Jumat 16 oktober 2015.
Menurut Retno, sosialisasi ini akan melibatkan semua perangkat Desa Parangtritis dari tingkat lurah hingga kepala dukuh. Selain itu, sejumlah tokoh masyarakat, dan bahkan wakil Karang Taruna masuk dalam daftar peserta sosialisasi. “Lurah Desa Parangtritis yang akan mengkoordinir pesertanya,” kata dia.
Sosialisasi akan disampaikan oleh pimpinan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro mewakili pihak Kraton Yogyakarta dan Perwakilan Tim Pengkaji Restorasi Gumuk Pasir dari Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bantul.
Acara sosialisasi kepada warga Desa Parangtritis ini baru pertama kali akan dilaksanakan sejak peresmian Parangtritis Geomaritime Science Park dan rencana restorasi gumuk pasir pada September lalu. Saat itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X memimpin peresmian lembaga itu sekaligus memasang secara simbolik lima patok penanda batas zona inti gumuk pasir. Padahal sosialisasi belum berlangsung.
Masalah pun muncul. Puluhan warga di sekitar Pantai Parangkusumo yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran memprotes proyek ini yang belum apa-apa sudah dipatok. Mereka pun mengadukan rencana itu ke Komisioner Komnas Ham, Ansori Sinungan yang berkunjung ke Parangkusumo pada Senin, 12 Oktober 2015.
Alasan protes itu karena ada puluhan warga yang khawatir tergusur dari permukimannya ketika restorasi gumuk pasir dilaksanakan. Sementara sosialisasi mengenai program ini tak pernah mereka dengar. Sebagian warga itu memiliki rumah di zona inti dan kawasan terbatas gumuk pasir.
Toh, ternyata Retno tak tahu ada atau tidak warga Pantai Parangkusumo yang dilibatkan dalam sosialisasi itu. “Hal ini kewenangan lurah Desa Parangtritis,” kilah Retno.
Koordinator ARMP Parangkusumo, Watin berharap menerima sosialisasi mengenai rencana gumuk pasir agar bisa memastikan tak ada anggota yang tergusur. Puluhan warga Pantai Parangkusumo memang selama ini tak punya sertifikat hak milik lahan. Lahan ini diklaim milik Keraton Yogyakarta. “Kami selama ini merasa dihambat secara administratif oleh pemerintah daerah Bantul untuk mengurus sertifikat hak milih lahan rumah,” ujar Watin. Mereka rata-rata telah menempati lahan itu puluhan tahun.
Menurut dia, penduduk protes karena tak jelas nasib mereka jika kelak digusur. Seharusnya, kata Watin, tiap penggusuran harus dilakukan melalui proses sosialisasi secara menyeluruh ke calon korban penggusuran. “Sekaligus, mendapatkan lahan pengganti, kami mau tinggal dimana lagi?” kata dia.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM