TEMPO.CO, Jakarta- Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, hari ini, operasi besar-besaran dilakukan untuk mengatasi bencana asap. Sebanyak 32 helikopter dan pesawat milik Indonesia serta bantuan internasional dikerahkan untuk operasi udara.
Armada itu terdiri atas 21 helikopter, tujuh fixed wing water bombing dan empat unit pesawat hujan buatan. "Ini adalah operasi darurat asap yang terbesar dilakukan Pemerintah Indonesia," kata dia melalui pesan singkat kepada Tempo, Jumat, 16 Oktober 2015.
Dari 32 unit heli-pesawat terbang, enam unit berasal dari bantuan Malaysia, Singapura, dan Australia.
Adapun water bombing dilakukan di enam wilayah yakni di Padang Susuka, Tulung Selapan, Indralaya, Banyuasin, Muara Kuang, dan Cengal Sugihan. Di Sumatera Selatan sebanyak 334 kali dan Jambi bagian timur 10 kali. Sedangkan, di Tanjung Puting dan Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, sebanyak 35 kali; Pulau Pisau, Kuala Kapuas, Lingkar utara, Sungai Renges, Kalimantan Selatan, sebanyak 73 kali; di Kubu Raya, Kalimantan Barat, sebanyak 28 kali; dan di Pelalawan, Kampar, Riau sebanyak 32 kali.
Selain operasi udara, tim gabungan juga menggelar operasi darat dengan melibatkan 22.146 personel. Tim gabungan terdiri atas TNI, Polri, K/L, BPBD, Manggala Agni, serta aktivis lingkungan hidup. Masing-masing personel ditempatkan di Riau sebanyak 7.563 personel, Jambi 2.365 personel, Sumatera Selatan 3.694 personel, Kalimantan Barat 2.810 personel, Kalimantan Tengah 3.445 personel, dan Kalimantan Selatan 2.269 personel.
Pantauan satelit Terra-Aqua, hari ini, menunjukkan hotspot di Sumatera sebanyak 769 titik, yaitu di Bengkulu 7 titik, Jambi 97 titik, Bangka Belitung 64 titik, Kepulauan Riau 1 titik, Lampung 38 titik, Riau 22 titik, Sumatera Selatan 537 titik, dan Sumatera Utara 3 titik. Sedangkan, di Kalimantan ada 159 titik, yang tersebar di Kalimantan Barat 19 titik, Kalimantan Selatan 5 titik, Kalimantan Tengah 134 titik, dan Kalimantan Timur 1 titik.
"Tidak mudah memadamkan hotspot yang terbakar masif dan luas. Apalagi di lahan gambut kering yang seringkali menyala kembali dan terbakar di bawah permukaan," ujar Sutopo.
DEWI SUCI RAHAYU