TEMPO.CO, Surabaya - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Jaringan Advokasi Tambang menghitung aktivitas pertambangan pasir besi secara liar di Lumajang, Jawa Timur, berpotensi merugikan keuangan daerah itu hingga Rp 11,5 triliun. “Itu setara dengan sembilan tahun APBD Lumajang,” kata Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur, Ony Mahardika, dalam siaran persnya, Rabu, 14 Oktober 2015.
Ony menjelaskan, potensi kerugian itu karena nilai ekonomi pasir besi Lumajang di pasaran cukup tinggi dibandingkan pendapatan yang masuk ke daerah. Pasir besi Lumajang yang mengandung bahan mineral berharga, seperti titanium, sangat dibutuhkan untuk industri peleburan baja dan semen.
Menurut Ony, dalam sehari 500 truk yang masing-masing membawa 35 ton pasir besi dari Lumajang. Harga pasir yang mengandung kadar besi (Fe) hingga 50 persen, di pasaran bisa menembus rata-rata 36 Dollar Amerika per tonnya. Bila kurs rupiah Rp 10 ribu per Dollar Amerika, maka, kerugian Kabupaten Lumajang mencapai Rp 2,29 triliun per tahun.
Ony menjelaskan, pertambangan pasir besi di Lumajang telah beroperasi sejak 2011. Dengan demikian dalam lima tahun ini Kabupaten Lumajang telah dirugikan Rp 11,5 triliun.
Kerugian dari sisi ekonomi tersebut akan berlipat dengan ancaman terhadap ekologi dan masyarakat. Sebab sepanjang pesisir selatan Lumajang merupakan kawasan rawan bencana alam, termasuk tsunami. “Di dekat kawasan pertambangan juga lahan pertanian produktif,” ujar Ony.
Wakil Ketua DPRD Lumajang, Sugiyantoko mengatakan retribusi pertambangan besi yang masuk sebagai pendapatan asli daerah pada 2014 hanya Rp 75 juta. Kecilnya retribusi tersebut karena banyak pertambangan yang beroperasi secara ilegal.
Pada 9 Oktober lalu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menurunkan tim teknis untuk mengevaluasi 61 izin tambang yang terdaftar di Kabupaten Lumajang. Ini adalah bagian dari rangkaian tindakan yang diambil setelah terjadi aksi kekerasan di Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Kabupaten Lumajang, pada 26 September 2015. Seorang aktivis anti-tambang, Salim alias Kancil, tewas, dan Tosan mengalami luka parah.
Setelah terjadi kasus itu, aktivitas penambangan di Kabupaten Lumajang langsung berhenti. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merekomendasikan untuk meninjau ulang semua perizinan tambang di daerah itu.
IKA NINGTYAS