TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat kembali mencoba mengutak-atik keistimewaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Melalui rapat Badan Legislasi pada Selasa, 6 Oktober 2015, diusulkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi itu diusulkan oleh 15 legislator dari PDI Perjuangan, Golkar (sembilan legislator), PKB (dua), PPP (lima), NasDem (12), dan Hanura (tiga).
Politikus PDI Perjuangan yang menjadi inisiator revisi, Masinton Pasaribu, berdalih revisi ini untuk sinkronisasi tugas antar-lembaga negara. "Ini bukan untuk melemahkan pemberantasan korupsi," kata Masinton kepada Tempo, 7 Oktober 2015.
Rencana revisi Undang-Undang KPK itu sebenarnya sudah sejak lama diusulkan. Meskipun yang sekarang yang mengusulkan jelas anggota DPR, tapi pengalaman pengusul revisi undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi seringkali diawali dari partai yang menguasai pemerintah.
Revisi Tahun 2009
KPK yang tengah dirundung masalah dengan penetapan dua pimpinannya, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, menjadi tersangka mendapat serangan lain. Pemerintah menjadi pengusul pasal-pasal yang justru merugikan KPK. Draft RUU Pemberantasan Tipikor versi pemerintah tahun 2009 menurut Koalisi Pemantau Peradilan sarat pelemahan. Pelemahan Draft yang diserahkan pada Mei 2009 itu antara lain : 1. KEWENANGAN KPK hanya sampai penyidikan, 2. ANCAMAN pidana bagi pelapor palsu, 3. TIDAK ADA penanganan aset yang diduga korupsi, 4. PENGEMBALIAN kerugian negara dan pidana tambahan untuk uang pengganti juga tidak diatur, 5. KORUPSI di bawah Rp 25 juta tidak dituntut pidana jika pelaku menyesal dan mengembalikan uang korupsi, dan 6. TIDAK ADA pengelolaan aset hasil korupsi 7. Kedaluwarsa kasus korupsi hanya bisa dituntut jika usia kasus 18 tahun.
Dalam daftar isian masalah yang diusulkan pemerintah justru menambahkan pembatasan wewenang penyadapan yang dilakukan KPK. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana menyetujui pembatasan penyadapan oleh KPK, tetapi perlu pengaturan agar dapat dipertanggungjawabkan. (16/9/2009)
Revisi Tahun 2011
Kali ini pemerintah mencoba merevisi Undang-undang Tipikor. Draft revisi Undang-undang Tipikor versi pemerintah masuk dalam Prolegnas nomor empat. Draft pemerintah tersebut menurut ICW mengandung beberapa kelemahan, yakni : Hilangnya ancaman hukuman mati, hilangnya pasal kerugian negara, hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal, hukuman minimal hanya menjadi satu tahun, pelapor kasus korupsi bisa dikriminalisasi, kerugian negara di bawah Rp 25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum, kewenangan penuntutan KPK tidak disebut secara jelas, pidana tambahan ditiadakan, seperti pembayaran uang kerugian negara.
Meskipun banyak dikritik, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Pemberantasan Korupsi Denny Indrayana menyatakan pemerintah siap menerima masukan atas draft yang dibuat pemerintah. “Setiap masukan dan usulan untuk perbaikan kita terima, termasuk pandangan dari ICW,” kata Denny. (30/3/2011)
Revisi Tahun 2012
Pemerintah melalui wakilnya di DPR, yaitu Fraksi Golkar, Demokrat, dan PPP menyetujui poin dibentuknya Dewan Pengawas KPK dalam pembahasan revisi Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002. Menurut Nudirman Munir, “Agar KPK tidak seperti di masa lalu, remnya blong. Kami tidak mau ada kasus Cicak-Buaya jilid II,” katanya kepada Tempo (24/9/2012). Poin lain yang disetujui oleh DPR: penyadapan KPK harus ada izin tertulis, kewenangan penuntutan dihilangkan, SP3 dapat dikeluarkan oleh KPK, KPK merupakan lembaga ad hoc sehingga tidak diperkenankan merekrut penyidik sendiri atau independen.
EVAN / PDAT SUMBER DIOLAH TEMPO