TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon mengaku belum mengetahui rancangan naskah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Naskah yang beredar di publik belum pernah diserahkan Badan Legislasi kepada pimpinan DPR. “Saya belum baca naskah terbaru, dan belum bisa memastikan apakah itu draf yang diusulkan DPR,” ujarnya, Rabu, 7 Oktober 2015.
Rancangan revisi UU KPK beredar di publik. Draf yang diduga berasal dari DPR itu berencana mengakhiri usia KPK di tahun ke 12 pasca pengesahan UU tersebut. KPK juga dilarang menangani kasus dengan nilai kerugian negara dibawah Rp 50 miliar, keharusan mengurus izin pengeledahan dan penyadapan dari pengadilan, serta menerapkan mekanisme tutup perkara.
Fadli menjelaskan, nasib pembahasan UU KPK saat ini berada di tangan pemerintah. Meski demikian, DPR juga memiliki rancangan naskah yang pernah diajukan pada periode sebelumnya. “Dulu pernah masuk di komisi tapi tertunda,” kata dia. Dalam rancangan tersebut, terdapat beberapa usulan pasal seperti pembentukan lembaga pengawas, penyidik independen dan mekanisme tutup perkara.
Wakil Ketua DPR yang lain, Fahri Hamzah, enggan menanggapi rancangan draf yang beredar di publik. Menurut dia, rumusan perubahan pasal baru akan terlihat dalam proses pembahasan bersama pemerintah. Semua fraksi saat ini sepakat mempercepat agenda tersebut. “Semua partai punya pandangan dan perasaan yang sama,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Fahri menjelaskan, revisi UU KPK mendapat momentum setelah KPK memperlihatkan kinerja yang dianggap melenceng. Saat awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo, KPK memberi stigma negatif terhadap kandidat menteri tanpa memberikan penyelesaian perkara. Padahal, proses hukum mestinya berangkat dari praduga tak bersalah. “Sekarang stempel itu ada di mana?” kata dia.
Menurut Fahri, pelanggaran KPK juga terlihat saat proses pemilihan Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI. Penetapan status tersangka itu ia nilai bertabrakan dengan mekanisme kelembagaan negara yang diatur konstitusi. Alasan itu mendorong DPR menggagas pembentukan lembaga pengawas KPK. “Jadi ini bukan melemahkan KPK,” ujarnya.
RIKY FERDIANTO