TEMPO.CO, Jakarta - I Gede Dewa Palguna menjadi satu-satunya majelis hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal putusan kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim pengadilan tingkat pertama. Palguna menilai isu utama permohonan yang diajukan Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) itu adalah menemukan batas konstitusional wewenang lain dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim yang dimiliki Komisi Yudisial.
Menurut Palguna, yang dimaksud batas konstitusional adalah tidak boleh terganggunya prinsip kemerdekaan kehakiman sebagai akibat wewenang lain Komisi Yudisial. Karena itu, dia berpendapat keterlibatan Komisi Yudisial dalam rekrutmen hakim tingkat pertama yang dilakukan bersama Mahkamah Agung tidak mengganggu administrasi, organisasi, maupun finansial. "Sepanjang dipahami keterlibatan itu memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim," kata Palguna, saat membacakan pendapatnya dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi, Rabu, 7 Oktober 2015.
BERITA MENARIK
Ooops, Ini Anak Kerbau tapi Berbadan Buaya
Robot Kecil Ini Bisa untuk Menelepon dan Menyetop Taksi
Palguna menilai buruknya hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam mengimplementasikan gagasan konstitusi menyebabkan penafsiran dan implementasi yang berbeda, sehingga sinergi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, sejak ditetapkannya undang-undang tentang rekrutmen hakim secara bersama-sama lima tahun, lalu tak berjalan. Karena itu, Palguna berpendapat seharusnya Mahkamah Agung memutus dan menyatakan permohonan Ikahi atas sepanjang frasa "bersama Komisi Yudisial" dalam seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama ditolak. Sayangnya, pendapat Palguna tersebut berlawanan dengan tujuh anggota majelis hakim lainnya.
Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Universitas Indonesia, Dio Ashar Wicaksana, kecewa terhadap putusan hakim konstitusi. Menurut dia, pertimbangan mayoritas majelis yang menafsirkan tak disebutkan kewenangan Komisi Yudisial untuk rekrutmen hakim di Undang-Undang Dasar 1945 tidak tepat. "Amandemen UUD 1945 saat itu tidak mengatur teknis," kata Dio.
Dia juga mengkritik majelis yang menganggap keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim malah mengganggu independensi Mahkamah Agung. "Komisi Yudisial dibentuk untuk mencegah dominasi Mahkamah Agung di lembaga peradilan," ujar Dio.
Setelah putusan MK ini, perekrutan hakim kembali diurus Mahkamah Agung. Kewenangan Komisi Yudisial tinggal menyeleksi calon hakim agung.
LINDA TRIANITA
BACA JUGA
G30S 1965: Terungkap, Kedekatan Soeharto dan Letkol Untung
G30S 1965: Rupanya Soeharto yang Tempatkan Letkol Untung