TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi Sumarna Abdurahman mengatakan masih ada ketidaksesuaian antara tenaga kerja yang dihasilkan lembaga pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan tenaga kerja yang diperlukan industri. ”Ada link yang tidak match antara tenaga kerja SMK dan keperluan industri,” katanya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Rabu, 7 Oktober 2015.
Ia mengatakan pihak industri sebenarnya sudah menerapkan sistem magang dengan siswa SMK sejak tahun 1994, tetapi tidak berjalan dengan lancar. Pihak industri mendapatkan tenaga kerja yang tidak sesuai yang mereka harapkan dan para mahasiswa tidak mendapatkan praktek sesuai dengan pengajaran teori mereka di bangku sekolah. “Apa yang dimagangkan dan diajarkan di dalam kelas itu berbeda,” katanya. Hal itu masih terjadi hingga tahun 2015.
Ia menawarkan tiga solusi untuk menangani masalah ini. Pertama, Sekolah Menengah Kejuruan diharapkannya bisa memiliki kompetensi dasar. Kompetensi dasar ini harus terintegrasi dengan pelajaran yang diajarkan di bangku sekolah dengan yang diperlukan oleh industri. “Kompetensi dasar harus dimiliki para lulusan SMK, sehingga bisa dikembangkan oleh industri,” katanya.
Kedua, ia menyarankan agar ada data yang pasti berapa sebenarnya tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri serta sektor mana saja yang dibutuhkan oleh dunia industri. Menurut dia, data itu akan memberikan bantuan bagi sektor pendidikan untuk mempersiapkan siswanya dan untuk keperluan dunia industri.
Ketiga, Sumarna menyarankan agar lebih banyak kerja sama antara SMK dan industri. Ia mengatakan hal ini dapat membantu para SMK yang tidak memiliki peralatan canggih seperti di dunia industri. “Teknologi yang digunakan industri itu cepat mengalami kemajuan. SMK pasti akan kesulitan bila harus selalu membeli teknologi terbaru untuk praktek para siswanya,” katanya.
Sebelumnya, wajib belajar 12 tahun sudah dimulai sejak tahun ajaran baru ini. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan pihaknya secara bertahap akan membangun lebih banyak Sekolah Menengah Kejuruan dibandingkan dengan Sekolah Menengah Atas untuk fasilitas wajib belajar 12 tahun masyarakat. Ia pun akan lebih fokus membangun sarana dengan perbandingan SMK dan SMA, 60:40 persen.
SMK yang dibangun pun akan disesuaikan dengan kondisi daerah itu, apakah SMK bidang kemaritiman, pertanian, atau pariwisata atau yang lain. Harapannya, dengan membangun SMK yang sesuai dengan jurusannya, setelah lulus, para siswa tidak perlu mencari pekerjaan ke kota, namun bisa mengembangkan daerahnya masing-masing.
MITRA TARIGAN