Situasi Surabaya yang memanas, membuat Bambang terus berpindah-pindah. Dia bergerak ke Lumajang, Malang dan Probolinggo untuk menemui Pemuda Rakyat setempat. Bambang meminta agar anggota Pemuda Rakyat melakukan “defensif aktif” alias bertahan tapi tetap waspada.
Tahun 1967 Bambang kembali ke Surabaya dan menikahi perempuan idamannya, Judita Marini Rahayu. Mereka lalu menyewa sebuah rumah di Jalan Ngagel Tirto. Setahun menjadi pengantin baru, lalu datanglah malam penangkapan itu.
Bambang menjadi tahanan politik di Kalisosok selama 12 tahun. Dia bersyukur tetap bisa menghirup napas di tengah kondisi penjara yang tak manusiawi itu. Sehari hanya diberi makan satu kali dan tidur bergantian dengan 90 tahanan lainnya. Dia ingat hanya dalam waktu 4 tahun saja, sudah 600 tapol yang tewas mengenaskan. “Kehidupan penjara hanya membuat kami mati pelan-pelan,” kata dia.
Saat di dalam jeruji itulah, Bambang dipertemukan dengan salah satu tapol Kristiani. Dari situlah, Bambang mempelajari Injil. Hingga akhirnya dia memutuskan pindah agama dari seorang Muslim menjadi Nasrani.
Bambang bersama tapol lainnya akhirnya bebas tahun 1980. Sepuluh tahun dia bermukim di Surabaya hingga akhirnya kembali ke kampung halamannya tahun 1992. Saat bertemu dengan keluarga besarnya kembali, Bambang menjadi tahu ada 20an kerabatnya yang tewas dalam pembunuhan massal 1965.
Tiga tahun di Banyuwangi, istrinya meninggal karena kanker payudara tanpa melahirkan seorang anak. Di masa senjanya, Bambang kini memilih menjadi seorang pendeta di Gereja Kristen Jawi Wetan, Kecamatan Genteng. Dia hidup sendiri di rumah sederhananya yang asri, di Dusun Curah Ketangi, Desa Setail.
Di sisa umurnya itu, Bambang tak pernah lelah menuntut agar pemerintah menuntaskan pelanggaran HAM 1965 yang menjadikan dia dan satu juta orang lainnya menjadi korban.
IKA NINGTYAS