TEMPO.CO, Bangkalan - Puluhan perwakilan petani garam yang tergabung dalam Forum Penggarap Lahan Non-Produktif PT Garam Kabupaten Sumenep mendatangi kantor DPRD Sumenep. Mereka mengadukan keberatan atas naiknya sewa lahan dari PT Garam (Persero) hingga 100 persen.
"Kenaikannya mendadak dan tanpa musyawarah dengan kami," kata perwakilan petani garam, Abdul Hayat, Selasa, 6 Oktober 2015.
Menurut Hayat, kenaikan sewa lahan berbeda sesuai ring yang ditentukan. Untuk lahan di ring I sewa yang semula Rp 1,5 juta menjadi Rp 3 juta per tahun. Sedangkan untuk ring II dari Rp 1 juta naik menjadi Rp 2 juta. Kemudian untuk ring III, dari Rp 750 ribu menjadi Rp 1,5 juta, dan ring IV dari Rp 500 ribu menjadi Rp 1 juta. "Kami keberatan karena terlalu mahal, sedangkan produksi garam masih sedikit," ujar dia.
Abdul meminta PT Garam tidak menaikkan sewa lahan karena hasil panen garam tahun ini lebih buruk dibanding tahun lalu. "Harga garam juga sangat murah, kami rugi."
Ketua Komisi II DPRD Sumenep A.F. Hari Pontoh menilai protes petani disebabkan 'mis' komunikasi. Petani garam merasa PT Garam tidak pernah mensosialisasikan tentang kenaikan harga sewa lahan.
"Karena itu, petani garam meminta kami untuk memfasilitasi agar dilakukan pertemuan antara petani garam, PT Garam, dan DPRD Sumenep," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Produksi PT Garam, Ali Mahdi mengklaim telah tercapai kesepakatan dengan petani. Sewa lahan yang semula naik 100 persen diturunkan sebesar 50 persen. "Ini kesepakatan yang paling tepat karena kenaikan sudah tertunda tiga tahun," kata dia.
Kenaikan sewa lahan itu, kata Ali, berdasarkan peraturan menteri keuangan. Mestinya kenaikan telah diberlakukan sejak 2012. Dalam aturan itu disebutkan, sewa lahan harus 3,33 persen dari nilai tanah.
Dia mencontohkan bila satu hektare tanah harganya Rp 400 juta, maka harga sewanya 3,33 persen atau sekitar Rp 13 juta. "Sebenarnya kenaikan 100 persen yang kami tetapkan itu jauh lebih kecil karena hanya Rp 3 juta," ucapnya.
MUSTHOFA BISRI