Manuver 3 Juli 1946 itu sebenarnya puncak dari aksi berbalas perseteruan antar-elite pada pemerintah saat itu. Hubungan tak sehat dan perselisihan timbul antara kubu Amir serta Perdana Menteri Sjahrir dan Markas Besar Tentara.
Perseteruan muncul karena Soedirman dianggap tak layak memimpin tentara. Kubu Sjahrir dan Amir menganggap tentara Indonesia harus baru, bebas dari fasisme dan militerisme, bukan didikan atau buatan Jepang. Sikap Sjahrir dan Amir dianggap tak realistis karena saat itu tentara yang siap justru dari hasil didikan Jepang, yang jumlahnya sekitar dua juta orang di Jawa dan Bali.
Sikap lunak Soekarno-Hatta yang mengedepankan diplomasi dengan Belanda, seperti yang dirintis Sjahrir dan Amir, tak disetujui di kalangan tentara, terutama Soedirman. Kubu Soedirman menginginkan kemerdekaan adalah 100 persen, dan tentara tidak kenal menyerah.
Pertentangan sikap itu membuat Soedirman merapat ke Tan Malaka. Kehadiran Soedirman dalam kongres Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka di Purwokerto adalah bukti kesamaan sikap mereka. Tan Malaka mencatat ucapan Soedirman saat itu, "Lebih baik kita diatom (bom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen."
Tiba sehabis asar, Soedirman disambut rapat dengan Presiden Sukarno, menteri kabinet, wakil partai, dan beberapa organisasi politik besar. Mereka tak setuju dengan gerakan Tan Malaka dan Yamin, sekondan Soedirman. Dalam rapat itu, Soedirman mengemukakan pendiriannya. Sjahrir, Amir, dan Abdulmadjid Djojohadiningrat menyerang. Sebagian dari mereka, ingin Soedirman dilikuidasi.
Soedirman dibela Hatta. Rapat alot itu akhirnya berakhir setelah Soedirman setuju meneken surat pemberhentian Soedarsono dari semua fungsi militer dan mengangkat Umar Djoy sebagai pengganti. Soedirman tetap menjadi panglima. Kabinet Sjahrir berhenti. Soekarno mengambil alih pemerintah dibantu Dewan Pertahanan Negara. Anggotanya berganti, minus Sjahrir.
Baca juga:
G30S 1965: Terungkap, Kedekatan Soeharto dan Letkol Untung
Minta Maaf ke Sukarno? Titiek:Kenapa Harus, Pak Harto Itu...
"Kudeta" 3 Juli 1946 menjerat 17 orang. Mereka diadili di Mahkamah Agung Militer. Tujuh orang dibebaskan dan lima orang dihukum 2-3 tahun. Soedarsono dan Yamin dipenjara 4 tahun. Semuanya bebas pada Agustus 1948 karena mendapat grasi dari Sukarno.
Meski tuduhan kudeta tidak terbukti di Mahkamah Agung Militer, kesaksian Soedirman di Mahkamah tanpa membela Tan Malaka dan kawan-kawan menjadi tanda tanya. Namun, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, ini tidak dapat ditafsirkan Soedirman meninggalkan teman-temannya. Ada kemungkinan Soedirman tunduk kepada sumpah prajurit, patuh kepada Panglima Tertinggi Soekarno, dan pengaruh Hatta.
TIM TEMPO
Baca juga:
G30S: Alasan Intel Amerika Incar Sukarno, Dukung Suharto
G30S:Kisah DiplomatAS yang Bikin Daftar Nama Target Di-dor!