TEMPO.CO, Jakarta - Masuknya pasal tentang kretek dalam draf Rancangan Undang-Undang Kebudayaan menuai kritik dari beberapa fraksi di Komisi Kebudayaan Dewan Perwakilan Rakyat. Protes diutarakan dalam rapat internal komisi pada Selasa, 29 September 2015. Rapat digelar khusus untuk membahas kontroversi pasal kretek dalam draf RUU Kebudayaan. (Baca: Pasal Kretek Diduga Titipan Industri Rokok)
Pada kesempatan itu, Ketua Panitia Kerja RUU Kebudayaan Ridwan Hisjam menjelaskan asal-usul masuknya pasal kretek. Dia menuturkan pasal kretek bisa masuk karena sudah dibahas dalam beberapa rapat antara panitia kerja RUU Kebudayaan dan Badan Legislasi DPR. "Sudah disepakati bersama," kata Ridwan, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 1 Oktober 2015.
Dari situ beberapa fraksi keberatan karena tak tercantum pasal kretek dalam draf rancangan yang mereka terima. Mereka meminta pasal kretek dihilangkan. Berikut peta dukungan terhadap pasal kretek dalam rapat internal di Komisi Kebudayaan:
Mendukung: Fraksi Golkar.
Menolak: Fraksi Hanura, Demokrat, NasDem, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera.
Tak menyatakan sikap: Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa.
Berdasarkan penelusuran Tempo, pasal kretek pertama kali diusulkan dalam rapat harmonisasi di Badan Legislasi pada awal September. Seorang peserta rapat mengatakan usul disampaikan Wakil Ketua Badan Legislasi Firman Soebagyo. Kemudian Panitia Kerja RUU Kebudayaan memasukkan pasal ini tanpa ada kata sepakat dari peserta rapat.
Firman mengaku mengusulkan pasal tersebut. Menurut dia, kretek adalah warisan budaya bangsa yang mesti diatur undang-undang. “Ini perlindungan hukum supaya budaya kita tidak dicuri negara lain,” ujar Firman. Dia mengklaim usulannya diterima peserta rapat, sehingga bisa menjadi salah satu pasal. Simak cerita tentang pasal kretek dalam tulisan "Agenda Siluman Pasal Kretek" di Majalah Tempo pekan ini.
PRIHANDOKO