Malah Didi Kartasasmita mendeskripsikan sidang berlangsung ala koboi. "Hampir semuanya pegang senjata. Gila, sebuah pertemuan revolusioner," ujarnya. Pendapat yang berbeda dengan suara mayoritas yang menghendaki pemilihan panglima besar tak diindahkan. Pendapat Menteri Keamanan Ad Interim Muhammad Sulyoadikusumo, yang mewakili pemerintah pusat, pun tak diacuhkan.
Pemilihan berlangsung secara sangat sederhana. Nama-nama calon, di antaranya Oerip, Soedirman, Amir Sjarifoeddin, dan Moeljadi Djojomartono dari Barisan Banteng, ditulis di papan tulis. Lalu panitia menyebutkan nama calon dan pendukungnya diminta mengacungkan tangan. Kalkulasi suara langsung ditulis di papan tulis.
Tjokropranolo dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman mengatakan pemilihan berlangsung dalam tiga tahap. Pada tahap pertama dan kedua diberlakukan sistem gugur. Cerita mengenai metode pemilihan ini, kata Tjokropranolo, yang pernah menjadi ajudan Soedirman, dia peroleh dari Komandan Batalion Badan Keamanan Rakyat Surakarta Djatikoesoemo.
Selain mendapat dukungan luas dari tentara eks Peta, Soedirman, yang saat itu baru 29 tahun, dipilih utusan dari Sumatera, Kolonel Moh Noch. Nasution mengatakan suara Moh Noch, yang mewakili enam divisi di Sumatera, turut menjadi penentu kemenangan Soedirman dalam pemilihan.
Dalam catatan Nasution, Soedirman terpilih lantaran TKR kala itu didominasi bekas Peta—selain unsur KNIL, Heiho, dan pemuda. Dan di kalangan Peta, terutama beberapa daerah di Jawa, Soedirman memang sudah cukup dikenal. Sersan Purnawirawan TKR Sarmoedji, 87 tahun, bercerita kepada Tempo, mantan Komandan Batalion atau Daidancho Kroya itu dikenal luas berkat keberhasilannya meyakinkan Jepang agar menyerahkan senjata secara damai kepada tentara Indonesia.
Hal senada diungkapkan T.B. Simatupang dalam buku Laporan dari Banaran. Menurut dia, ketika menjadi Panglima Divisi BKR Purwokerto, Banyumas, Soedirman bersama Raden Ishaq menjadikan Banyumas sumber pasokan senjata bagi wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. "Pak Dirman selalu dapat diharapkan untuk memberikan bantuan," ujarnya.
Sebaliknya, Oerip diperkirakan kalah karena di kalangan tentara muncul sentimen negatif terhadap serdadu didikan Belanda. "Semangat itu terpupuk dari didikan organisasi tentara Jepang," kata Salim Said. Tak aneh, Oerip—mantan mayor KNIL yang kala itu 52 tahun—lebih dekat dengan pemerintah dibanding tentara. Yang juga merugikan posisi Oerip, dia lebih lancar berbahasa Belanda dan Jawa dibanding berbahasa Indonesia. Padahal para tentara TKR, yang mayoritas berusia 20-an tahun sedang bersemangat menggunakan bahasa Indonesia.
TIM TEMPO
Sumber: Majalah Tempo, Edisi Khusus Soedirman: "Seorang Panglima, Seorang Martir"
Baca juga:
TNI & G30 September 1965: Inilah 5 indikasi Keterlibatan Amerika!
EKSKLUSIF G30S 1965: Begini Pengakuan Penyergap Ketua CC PKI Aidit