TEMPO.CO, Jakarta -PERINTAH itu datang dari Mayor Jenderal Ibrahim Adjie. Kepada Benedict Anderson, Indonesianis dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, Panglima Komando Daerah Militer VI Siliwangi itu menegaskan, "Saya sudah kasih perintah kepada semua kesatuan di bawah saya, orang-orang ini ditangkap diamankan, tapi jangan sampai ada macem-macem." Ibrahim dan Anderson bertemu pada 1968.
Petikan yang dimuat di Majalah Tempo edisi 1 Oktober 2012 itu menjelaskan kenapa di Jawa Barat tidak ada pembantaian pada 1965 dan 1966. Padahal pada saat itu banjir darah terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang-orang yang dicap sebagai PKI dihabisi.
Baca juga:
G30S: Alasan Intel Amerika Incar Sukarno, Dukung Suharto
G30S:Kisah DiplomatAS Pembuat Daftar Nama Target yang Dihabisi
Kepada A. Umar Said, mantan Pemimpin Redaksi Ekonomi Nasional--surat kabar yang dilarang terbit bersama Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Suluh Indonesia pasca-G-30-S--Anderson menyampaikan cerita Ibrahim itu. Dari wawancara pada September 1996 itu, Umar memuat cerita Anderson di blog pribadinya. Umar wafat pada 7 Oktober 2011 di Paris, tempatnya bermukim sejak Oktober 1965 sebagai eksil.
Pembunuhan di Jawa Barat bukan tak terjadi. Di Indramayu, misalnya, ada orang yang dituding anggota PKI jadi korban. Tapi kejadian tak meluas. Perintah Ibrahim tampaknya diikuti tentara sampai level paling bawah. "Saya tidak ingin ada pembantaian di Jawa Barat, karena merasa bagaimanapun sebagian besar adalah orang kecil. Akan mengerikan kalau mereka dibunuh," katanya.