TEMPO.CO, Boyolali - Lembaga Kajian Transformasi Sosial (LKTS) Boyolali, Jawa Tengah, pernah melakukan penelitian untuk menggali fakta yang terjadi di seputar Peristiwa G30S 1965. Penelitian itu didasari dorongan untuk membangun rekonsiliasi di antara pihak yang bertikai pada tragedi 1965, yang terus menguat sejak 2002.
"Kami mencoba membuat penelitian dengan mewawancarai sejumlah saksi sejarah," kata Direktur LKTS Boyolali Ismail Al Habib. Mereka mencoba menggali dan merekonstruksi cerita yang sesungguhnya mengenai apa yang terjadi pada saat itu. "Sayang, sebagian besar saksi sejarah itu kini sudah meninggal," katanya kepada Tempo, Jumat, 25 September 2015 lalu.
Baca juga:
EKSKLUSIF G30S 1965: Begini Pengakuan Penyergap Ketua CC PKI Aidit
Omar Dani: CIA Terlibat G30S 1965 dan Soeharto yang Dipakai
LKTS mendapat temuan bahwa di Boyolali, kekerasan hanya terjadi di sekitar lereng Merapi dan Merbabu, yang kemudian mendapat julukan Merapi Merbabu Complex (MMC). Kelompok MMC sering melakukan kejahatan, seperti perampokan hingga pembunuhan terhadap warga yang tinggal di sekitar dua gunung itu.
Dalam penelitian yang dilakukan, Ismail menyebut anggota MMC merupakan orang–orang yang sakit hati dengan rasionalisasi yang terjadi di tubuh tentara. Dalam rasionalisasi tersebut, hanya tentara yang sudah dilatih oleh KNIL (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, dan PETA (Pembela Tanah Air) yang bisa masuk menjadi tentara negara. Sedangkan Tentara Rakyat yang lahir karena menjadi relawan tidak bisa menjadi tentara negara yang digaji oleh negara. "Mereka yang kecewa lantas mengasingkan diri ke lereng Merbabu dan Merapi," katanya.
Baca juga:
Kisah Salim Kancil Disetrum, Tak Juga Tewas: Inilah 3 Keanehan
Kasus Salim Kancil, Polisi Dituding Bermain
Mereka bergabung dengan kelompok garong bernama Gerakan Rakyat Kelaparan (Grayak). Menurut Ismail, gerakan itu sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan PKI. "Namun belakangan gerakan itu disangkutpautkan dengan PKI," kata dia. Berbagai pendukung partai politik masih tetap hidup rukun hingga terjadinya peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal di Jakarta. Bahkan, kebanyakan masyarakat Boyolali tidak mendengar informasi tentang peristiwa itu lantaran minimnya peralatan komunikasi.
Bahkan, Muspida yang telah mendengar informasi itu justru terus mengimbau masyarakat agar tidak terpengaruh. Mereka menggelar pertemuan di beberapa daerah. Namun ternyata pertemuan-pertemuan itu justru membuat warga menjadi resah. Provokasi dan isu yang simpang siur membuat masyarakat khawatir dan saling curiga. Suasana semakin genting lantaran sejumlah kelompok akhirnya menggelar pertemuan tertutup. Pata tokoh PNI, misalnya, sering melakukan pertemuan tertutup dengan pihak Kodim Boyolali. Sedangkan kepolisian juga menggelar pertemuan tertutup dengan sejumlah organisasi kepemudaan berbasis agama.
Konflik horizontal di Boyolali baru terjadi sekitar pertengahan Oktober. Di Desa Randusari, Kecamatan Teras, terjadi aksi pembakaran terhadap rumah milik warga yang dituding sebagai aktivis PKI. Beberapa hari kemudian barulah pasukan RPKAD (Resimen Para Khusus Angkatan Darat) masuk ke Boyolali untuk upaya pembersihan besar-besaran. Operasi ini sempat dihalangi oleh para pendukung PKI dengan menebangi pohon di sepanjang Jalan Ampel, Bangak, dan Mojosongo.
Aksi pembersihan ini tidak hanya dilakukan oleh tentara. "Mereka menggandeng sejumlah ormas," kata Ismail. Di daerah Karanggeneng misalnya, tentara menggandeng relawan dari KAMI/KAPPI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia/Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) dalam melakukan pembersihan. Warga yang ditangkap kemudian diserahkan kepada tentara selaku pemimpin operasi.
Baca juga:
EKSKLUSIF G30S 1965: Begini Pengakuan Penyergap Ketua CC PKI Aidit
Omar Dani: CIA Terlibat G30S 1965 dan Soeharto yang Dipakai
Tidak terhitung lagi berapa orang yang tertangkap dalam operasi yang berlangsung tiga bulan itu. "Ada yang dibunuh maupun dibuang ke Pulau Buru," katanya. Ismail yakin tidak semua yang ditangkap dan dibunuh itu merupakan orang PKI. "Sebagian hanya masyarakat biasa yang dituduh PKI oleh orang yang memusuhinya," katanya. Kekacauan yang luar biasa membuat masyarakat sangat leluasa untuk memberikan cap sebagai PKI terhadap warga yang lain.
Sayangnya, penelitian tersebut tidak mengkaji kemungkinan adanya keterlibatan asing dalam operasi pembersihan tersebut. "Kami tidak mengetahui adakah fasilitas-fasilitas yang diterima oleh para relawan dalam operasi tersebut," katanya. Namun, Ismail memastikan bahwa para relawan itu mendapatkan pelatihan dari pihak tentara. Di daerah Selo, misalnya, sejumlah 42 pemuda mendapat pelatihan dari pihak militer. Latihan tersebut diberikan selama 21 hari. "Fasilitas lain di luar pelatihan, kami belum tahu," kata Ismail.
AHMAD RAFIQ