TEMPO.CO, Subang - Ratusan hektare lahan sawah di sentra tanaman palawija Kecamatan Dawuan, Subang, Jawa Barat, dibiarkan menganggur oleh para pemiliknya akibat sumber air irigasi teknis kering kerontang. Salah seorang petani di Desa Dawuan Kaler, Acim, kepada Tempo, Selasa, 30 September 2015, mengatakan pasca-panen padi musim gadu, yang biasanya dilanjutkan dengan menanam kacang tanah, tak lagi ia lakukan.
"Sumber air irigasinya sudah tak bisa diandalkan lagi. Kemarau panjang tahun ini membuat air irigasi kering kerontang," katanya. Padahal, tahun lalu, dia masih bisa menanam kacang tanah.
Menurut Acim, saat kondisi air irigasi masih normal seperti tahun lalu, dia masih bisa memperoleh penghasilan tambahan dari hasil tanam palawija. "Hasil kotornya dapat Rp 3,6 juta," ujarnya. Lahan yang digarapnya seluas 4.900 meter persegi dengan ongkos produksi Rp 2,5 juta.
Hal senada diungkapkan Umay, petani asal Desa Dawuan Kidul. Gara-gara tak ada cadangan air buat tanaman palawija, tahun ini ia gigit jari. "Enggak ada lagi penghasilan tambahan dari hasil palawija," ujarnya.
Akibat tak bisa menanam palawija, Acim kini beralih profesi jadi kuli bangunan. Adapun Umay untuk sementara jadi tukang ojek. "Ya, buat cari tambahan setoran uang dapur," kata Acim.
Kepala Bidang Sumber Daya Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang Hendrawan mengakui seluruh area lahan tanaman palawija di sentra Palawija di sepuluh desa Kecamatan Dawuan dengan luas hampir 1.000-an hektare gagal total.
Sebab, pasca-panen padi gadu, cadangan air irigasi bendung Curug Agung yang mengairi area lahan pertanian di Kecamatan Dawuan menyusut drastis. Cadangan air sungai setempat juga tidak memadai.
"Kalau dipaksakan petani tanam palawija, pasti akan mengalami kegagalan," ujar Hendrawan. Sebab, daripada mereka merugi akibat gagal panen, mending disetop tanam sekalian.
Di Indramayu, sejumlah buruh tani juga beralih profesi. “Kekeringan otomatis berpengaruh terhadap pekerjaan yang dilakukan warga di Kabupaten Indramayu,” kata Sutatang, Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan Indramayu.
Kemarau ekstrem tahun ini, menurut Sutatang, menyebabkan sedikitnya 50 persen petani, baik petani penggarap maupun buruh tani, terpaksa beralih profesi. Berbagai pekerjaan mereka jalani, dari menjadi kuli bangunan, pembuat batu bata, tukang becak, hingga pencari barang-barang rongsok. Bahkan ada yang khusus merantau ke Jakarta untuk mencari barang rongsok. “Beragam pekerjaan harus mereka jalani untuk bisa menghidupi keluarganya,” katanya.
Sanadi, warga Desa Panyingkiran Lor, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu, mengakui dirinya menjadi pembuat batu bata di sepanjang Kali Cimanuk sejak Juni lalu. “Dengan seorang teman saya, dalam sehari bisa membuat 800-1.000 bata setiap hari,” ucapnya.
NANANG SUTISNA | IVANSYAH