TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan mengatakan pemerintah tengah menggodok mekanisme rekonsiliasi dengan korban kasus-kasus hak asasi manusia. Ia menegaskan korban yang dimaksud terkait dengan delapan kasus pelanggaran HAM besar.
"Kami masih mencari format yang pas, masak kami mau terus-menerus membawa masa lalu. Kami ingin masa lalu didamaikan, kita harus berdamai pada diri kita, kita kan bangsa besar," kata Luhut setelah menemui Presiden Joko Widodo di kompleks Istana, Rabu, 30 September 2015.
Baca Juga:
Luhut mengatakan pemerintah tengah mencari format terbaik agar rekonsiliasi berjalan benar. Namun, ia menegaskan, rekonsiliasi bukan berarti Presiden Joko Widodo akan meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia. "Tidak ada di pikiran seperti itu. Saya terlibat dalam proses merekonsiliasi ini, saya pastikan tidak ada," ujarnya.
Rekonsiliasi yang dimaksud Istana mencakup korban dari pelanggaran HAM delapan kasus besar, dari kasus Tragedi 1965, kasus Talangsari, kasus Semanggi, serta kasus Trisakti. "Kita cari formatnya yang bagus seperti apa. Kasus HAM banyak, tidak hanya G30S/PKI," tuturnya.
Presiden Jokowi sebelumnya sudah membentuk tim rekonsiliasi untuk menyelesaikan sejumlah dugaan pelanggaran HAM, termasuk peristiwa G30S. Pembentukan tim itu untuk menyelesaikan permasalahan melalui jalur nonyudisial. Salah satu upaya nonyudisial yang bisa dilakukan adalah menyampaikan permintaan maaf.
Selain peristiwa penumpasan PKI pada 1965, masih ada sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang belum menemui titik terang. Antara lain peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Lampung 1989, kasus orang hilang 1997-1998, kasus Trisakti 12 Mei 1998, kasus kerusuhan Mei (13-15 Mei 1998), serta kasus Semanggi 1 dan 2.
ANANDA TERESIA