TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Firman Subagyo mengaku memasukkan pasal kretek dalam draf Rancangan Undang-Undang Kebudayaan. Politikus Partai Golkar itu mengklaim wacana pelestarian rokok tradisional adalah saran yang ia dengar dari para budayawan.
"Saya yang pertama menyampaikan bahwa kretek itu warisan karena unik. Itu budaya dan tak dimiliki negara lain," kata Firman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 29 September 2015.
Menurut Firman, dua budayawan yang mengusulkan soal kretek ini adalah Butet Kertaradjasa dan Mohammad Sobary, dengan alasan ketakutan pengetahuan soal rokok kretek bakal musnah lantaran globalisasi. " Harga tembakau jatuh sehingga kita impor tembakau sintetis," kata Firman.
Firman menilai pasal kretek akan memberikan legitimasi kuat terhadap rokok kretek, sehingga bisa mengerek daya jual. "Kalau kretek dipakai oleh negara lain, maka mereka membayar royalti ke Indonesia," ujarnya.
Mulanya, pasal kretek dibahas dalam rapat panitia kerja di Komisi Kebudayaan DPR. Namun, pasal tersebut tak masuk dalam draf yang diajukan ke Baleg. Firman memasukkan pasal kretek saat beleid itu dibahas di Baleg. "Setelah diskusi, semua setuju lalu diketok."
RUU Kebudayaan mencantumkan kretek tradisional dalam ayat l pasal 37 tentang penghargaan, pengakuan, dan perlindungan sejarah serta warisan budaya. Penjelasan pasal kretek ini ada dalam pasal 49.
Nah, karena merupakan warisan budaya, beleid tersebut membuat pemerintah harus menginventarisasi, mendokumentasi, memfasilitasi pengembangan, mensosialisasikan, mempublikasikan, hingga mempromosikan kretek tradisional. Juga, membuat festival kretek tradisional dan melindunginya.
PUTRI ADITYOWATI