TEMPO.CO, Bandung - Perubahan iklim telah diprediksi mengakibatkan frekuensi terjadinya El Nino ekstrem yang setara dengan kejadian pada 1997-1998. Peningkatannya sebanyak dua kali lipat pada rentang tahun 2000-2099.
Bambang Siswanto, peneliti Pusat Sains Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (PSTA LAPAN) Bandung, mengatakan, berdasarkan penemuan terkini oleh Wenju Cai yang dipublikasikan dalam Nature Climate Change, terungkap bahwa El Nino ekstrem tersebut telah meningkat.
"Dari sebelumnya berlangsung setiap 27-28 tahun menjadi 15-16 tahun sekali," ujar Bambang di kantornya, Senin, 28 September 2015.
Selain itu, iklim ekstrem juga diprediksi meningkat sebanyak empat kali lipat. Dari sebelumnya berulang setiap 187 tahun sekali menjadi 48 tahunan.
Berdasarkan hasil proyeksi empat model global yang dijalankan LAPAN, tampak bahwa hasil dari tiga model menunjukkan kecenderungan yang sama, yakni curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia mengalami peningkatan 0-50 milimeter per bulan pada Januari-Maret 2050. Namun, pada 2100, terjadi sebaliknya: pengurangan hujan 0-250 mm/bulan terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia.
Sedangkan untuk Pulau Jawa, musim kemarau akan terjadi lebih panjang dari normalnya pada tahun 2010-2030. Sebaliknya, musim hujan akan berlangsung lebih pendek dari normalnya. Awal musim hujan juga diproyeksikan lebih mundur dari biasanya, sementara musim kemarau diperkirakan datang lebih cepat dari biasanya selama rentang 2010-2030.
ANWAR SISWADI