Ini isi pernyatannya: “My vision for the world in 2030 is that people everywhere have come together to make sure global goals are met and to leave no child behind,” kata Putri, yang ayahnya wirausaha sparepart di Bandung dan ibunya adalah ibu rumah tangga.
Selain di Central Park, Putri berbicara dalam sejumlah side event Konferensi Tingkat Tinggi di Markas PBB, New York. Tema paparannya adalah isu pernikahan dini di kalangan remaja dan pendidikan inklusif.
Putri diseleksi oleh Save The Children, lembaga swadaya masyarakat global yang selama ini peduli terhadap isu anak-anak dan remaja. Dia memilih tema itu karena delapan kawannya menikah dan hamil. Dia terpukul karena sekolah akhirnya mengeluarkan rekannya itu.
“Masa remaja adalah masa-masanya bergaul, kok sudah memiliki anak,” ujar anak bungsu dari tiga bersaudara ini.
Menurut Putri, seharusnya kawan-kawannya itu masih punya hak untuk mendapat pendidikan. Anak-anak yang melakukan pernikahan dini, katanya, tetap tidak boleh putus sekolah. Ia menilai dengan berhenti sekolah akan memperpanjang rantai kemiskinan.
Putri menyebut dua faktor dari fenomena itu, yakni kemiskinan dan pergaulan bebas. Ratna Yunita dari Save the Children menjelaskan Jawa Barat merupakan empat provinsi terbesar untuk angka kematian bayi dan pernikahan dini.
Dalam forum di Markas PBB, Putri menyampaikan fenomena itu. Menurut dia, remaja dari Bangladesh juga memaparkan isu yang sama. Bedanya, di Negara Asia Selatan itu ada faktor budaya, yakni orang tua menikahkan anaknya yang sudah menstruasi.
UNTUNG WIDYANTO (NEW YORK)
Baca juga:
Kisah Salim Kancil Disetrum, Dibunuh: Ini Sederet Keanehan di Balik Tragedi
Ini Duit yang Dipakai Setya Novanto Cs & Ahok: Siapa Boros?